Select a Language

Sabtu, 14 Juli 2012

Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online

Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online. Permasalahan ini sebenarnya merupakan pertanyaan salah seorang sahabat kita, yakni bang Gun… Cool via facebook. Redaksi pertanyaan beliau begini :

أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pak helim mau nanya nih...
1. . Bolehkah perwalian nikah lewat telepon...?
2. . ijab kabul lewat telepon sah atau tidak...?
Mohon penjelasannya berdasarkan hukum yang berlaku....
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih...sukses slalu buat pak helim


Bang Gun yang terhormat. Saya di sini hanya sharing saja, saya juga bukan seorang mujtahid seperti layaknya para pakar hukum Islam lainnya, namun saya berupaya untuk berperan di dunia hukum Islam, setidaknya “belajar menjadi mujtahid.”

Okey bang Gun, pertanyaan bang Gun itu ada 2, namun saya tanggapi sekalian aja ya… Yang pertama berkaitan dengan perwalian nikah lewat telepon. Kasus ini pernah terjadi pada pasangan Sirojuddin Arif dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi video teleconference dari Indosat, mereka melangsungkan akad nikah pada Maret 2007. Kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris, sedangkan wali mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika akad nikah dilangsungkan.


Adapun pertanyaan yang kedua berkaitan dengan akad nikah online atau lebih khususnya disebut pengucapan ijab dan qabul online. Kasus ini sudah banyak dilakukan, seperti Prof. Dr. Baharuddin Harahap (besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) di Kebayoran Baru Jakarta, pada tanggal 13 Mei 1989 menikahkan anaknya dengan seorang pria Indonesia; teman lama putrinya yang sedang tugas belajar di pasca sarjana Indiana University AS.

Begitu juga dengan pasangan Syarif Aburahman Achmad yang menikahi Dewi Tarumawati dengan akad nikah jarak jauh via video teleconference pada 4 Desember 2006. Ketika itu mempelai pria sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan wali dan mempelai wanita berada di Bandung, Indonesia.

Model pelaksanaan akad nikah lewat telepon/ video teleconference/online di atas, mengundang reaksi dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang setuju, namun tidak sedikit yang tidak setuju.

Mereka yang tidak setuju mengatakan bahwa akad nikah (pengucapan ijab qabul dan perwalian) online mengandung kemudaratan, setidaknya dilihat dari adanya kemungkinan penipuan yang akhirnya mengacaukan akad yang sakral ini, karena bisa jadi bukan calon mempelai pria yang asli yang mengucapkan qabul. Oleh karena itu menurut mereka hal ini tidak bisa dianggap main-main, sementara menurut mereka akad nikah masuk dalam kategori ibadah yang artinya sama dengan mempermainkan agama bila melakukan pengucapan ijab qabul atau perwalian secara online. Oleh karena itu, akad seperti ini tidak sah. Selain itu, menurut mereka, apabila mengikuti pendapat Imam Syafi’i, akad seperti ini jelas tidak sah karena tidak satu majelis (tidak di satu tempat ketika mengucapkan iajb qabul).

Kalau saya sendiri bang Gun ya.., sebelum memberikan jawaban terhadap pertanyaan abang, saya memiliki pertimbangan sebagai berikut :

• Permasalahan ini merupakan persoalan ijtihadiyah yakni hasil ijtihad para ulama, karena itu ia merupakan produk pemikiran para ulama. Masing-masing ulama bisa berbeda, karena gaya berpikirnya berbeda-beda, seperti Imam Hanafi menganggap sah akad nikah walau tidak satu majelis, sementara Imam syafi’i memandang tidak sah. Oleh karena itu, karena masuk dalam persoalan ijtihadiyah, maka ia termasuk masalah khilafiyah
• Akad nikah memang akad yang sakral, sehingga jangan sampai dipermainkan, bahkan berdosa (haram) apabila mempermainkannya, namun secara teoritis akad nikah lebih dominan masuk dalam kategori urusan muamalah (urusan manusia dengan manusia), bukan termasuk dalam kategori ibadah (urusan manusia dengan Allah), sehingga kesempatan untuk melakukan pengkajian terhadap masalah muamalah ini lebih luas, bahkan konsep kemaslahatan pun tampak leluasa digunakan dalam bidang muamalah ini. Oleh karena itu pula, karena bukan termasuk lapangan ibadah, maka tampaknya tidak berdosa apabila adanya pemikiran baru tentang cara pelaksanaan akad nikah. Yang dilihat kan, esensi dari akad nikah tersebut.

Berdasarkan pertimbangan di atas, saya memiliki dua opsi kecenderungan

• Kecenderungan pertama, bahwa pada zaman nabi bersama sahabat, telah ada tersirat adanya perwakilan (taukil) ketika melakukan akad nikah. Perwakilan pada masa nabi ini tidak dibatasi hanya kepada keluarga, tetapi boleh pula diwakili oleh orang lain dan tidak ditemukan pula apakah hanya untuk mempelai pria atau termasuk pula wali. Oleh karena itu, menurut hemat saya, perwakilan ini tidak saja dilakukan untuk mempelai pria, namun dapat pula dilakukan untuk wali dan bisa dilakukan oleh orang lain.

Artinya di sini adalah, apabila seorang mempelai pria, karena kondisinya tidak bisa datang ke acara akad nikahnya sendiri, maka ia bisa menghubungi orang yang dikenal olehnya sendiri dan dikenal pula oleh mempelai perempuan dan kerabatnya untuk mewakili calon mempelai pria dalam mengucapkan akad nikah atau membacakan surat yang diberikan mempelai pria. Ketika akad nikah dilangsungkan, maka yang mewakili mengucapkan atau membacakan qabul yang disampaikan Pegawai Pencatat Nikah. Ini juga termasuk satu majelis (tidak mesti seperti yang dipahami Imam Syafi’i).

Selain itu, karena hal ini pernah diisyaratkan Nabi, maka pada zaman sekarang pun kita bisa melakukannya, bahkan kita pun tidak memerlukan teknologi sekali pun. Jalan seperti ini, menurut saya tampak lebih aman, dengan syarat, orang yang mewakili ini memang benar-benar jujur dan didengar dengan baik oleh saksi dan wali bahwa ia memang mengucapkan atau membacakan surat kuasa untuk akad nikah mempelai pria yang jauh di sana.

• Kecenderungan kedua, menurut hemat saya kita perlu pula memperhatikan perkembangan teknologi, sehingga kita tidak kaku ketika menghadapi segala macam perkembangan. Maksud saya adalah, kalau sekiranya para mempelai yang melakukan akad nikah online (pengucapan ijab qabul atau pun perwalian online) dan termasuk pula saksi dapat melihat dan mendengar dengan jelas apa yang diucapkan mempelai pria, begitu juga wali dapat melihat dan mendengar dengan jelas apa yang diucapkan mempelai pria, terlebih kedua mempelai, keduanya dapat saling memandang dan saling mendengarkan, maka tampaknya tidak ada syarat atau rukun akad nikah yang tertinggal atau dilanggar serta tidak ada pula hal-hal yang menghalangi dilangsungkannya akad nikah online ini.

Kenapa disebut demikian, karena pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan akad nikah online ini bisa saling pandang dan saling mendengar seperti halnya ketika kita duduk berbicara dengan teman di sebelah kita. Hal ini pun, juga termasuk satu majelis, yakni ketika diucapkannya ijab oleh wali, mempelai pria pun langsung dapat mengucapkan qabulnya. Artinya akad yang seperti ini, menurut hemat saya adalah sah.

Dilihat dari aturan yang terdapat dalam Instruksi Presiden RI, Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pada pasal 28 yang berbunyi :

“Akad nikah dilaksanakan secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain”

Aturan di atas menunjukkan seperti yang saya gambarkan pada opsi pertama bahwa bolehnya melakukan taukil (perwakilan) wali nikah kepada orang lain. Selanjutnya pada pasal 29 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi;
(2) Dalam hal-hal tertentu, ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

Aturan di atas juga menunjukkan bahwa calon mempelai pria juga dibolehkan mewakilkan kepada orang lain untuk membacakan kabul untuk diri calon mempelai.

Jadi apabila kita mengikuti opsi pertama seperti yang digambarkan di atas, sebenarnya tanpa alat teknologi pun, akad nikah dapat dilangsungkan. Artinya tidak mesti harus dilakukan secara online.

Selanjutnya, perhatikan pula pada pasal 27 Instruksi Presiden RI tentang KHI ini, bahwa “ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.” Aturan ini mengisyaratkan terbukanya peluang untuk melaksanakan akad nikah online dengan syarat seperti yang digambarkan pada opsi yang kedua di atas.

Dikatakan demikian, karena pada pasal 27 tersebut tidak ditemukan harus satu majelis dalam pengertian seperti yang dianut mazhab syafi’i. Sebaliknya, walau jarak yang sangat jauh, tetapi pengucapan iajb qabul atau perwalian online itu dapat dilakukan seperti yang digambarkan pada opsi kedua dan seperti yang diatur pada pasal 27 KHI ini, maka akad nikah online atau perwalian online termasuk akad nikah yang sah.

Kesimpulan saya adalah dua opsi di atas dan kemudian ditambah beberapa ketentuan peraturan mazhab Indonesia (KHI) tersebut, bukanlah hal yang bertentangan. Justru dapat bersinergi untuk saling mendukung. Ketika kondisinya mengharuskan untuk mengadakan akad nikah (pengucapan ijab qabul atau perwalian) jarak jauh, maka upayakan terlebih dahulu untuk mengadakan taukil atau perwakilan, namun apabila perwakilan ini tidak bisa diterapkan dengan alasan-alasan yang kuat, maka barulah kita mengadakan akad nikah (pengucapan ijab qabul atau perwalian) secara online dengan syarat seperti yang telah digambarkan.

Inilah yang dapat saya share bang Gun, semoga dapat membantu atau setidaknya dapat dijadikan bahan perbandingan dengan pendapat yang lebih ahli dari saya. Semoga bermanfaat. Terima kasih.



Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online Sahabat bisa menemukan artikel Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online dengan URL https://ushulfikih.blogspot.com/2012/07/hukum-akad-nikah-dan-perwalian-lewat.html, Silahkan kutip artikel Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online jika dipandang menarik dan bermanfaat, namun, tolong mencantumkan link Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online sebagai Sumbernya.
Posting Lebih Baru Posting Lama