Select a Language

Minggu, 20 Mei 2012

Muslim Kognitif Perusak Agama dan Citra Umat


Muslim Kognitif Perusak Agama dan Citra Umat. Istilah kognitif –begitu juga apektif dan psikomotorik- sebenarnya istilah yang digunakan dan populer dalam dunia pendidikan. Kognitif biasanya diartikan sebagai penguasaan terhadap ilmu pengetahuan atau kompetensi intelektual. Apektif diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menjiwai pengetahuan yang dikuasainya, sedangkan psikomotorik diartikan sebagai terampilnya seseorang menerapkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya dalam kehidupan yang nyata. Ketiga istilah tersebut dalam artikel ini dipinjam dan kemudian diinterpretasikan (takwil) untuk menggambarkan identitas seseorang yang mengaku sebagai muslim sejati. Penggambaran identitas itu berkaitan erat dengan perilaku, tingkah laku atau perbuatan seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari. Melalui penggambaran ini akan diketahui posisi seorang muslim yang akhirnya layak untuk menyandang gelar sebagai muslim kognitif, apektif atau sebagai muslim psikomotorik.

Muslim kognitif dalam artikel ini diinterpretasikan untuk menggambarkan bahwa seorang muslim tersebut mengetahui sedikit atau bahkan menguasai ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan agama. Ketika ia mendapatkan pelbagai pertanyaan tentang Islam dan ajarannya, baik berkaitan dengan dalil, asal suatu permasalahan dalam ajaran tersebut atau untuk menemukan rahasia-rahasia dan solusi terhadap problem dalam ajaran Islam yang sedang dihadapi, muslim kognitif tersebut langsung dapat mencairkan jawaban yang sangat memuaskan tanpa melalui proses berpikir yang panjang. Mengapa demikian?, jawabannya tidak lain adalah karena muslim kognitif itu telah mengetahui dan menguasai pelbagai ilmu keislaman yang tersimpan (box saving) di dalam jalur intelektualnya. Seandainya dapat diibaratkan, kepala seorang muslim kognitif tersebut laksana “kantong Doraemon”. Disebut demikian karena setiap problem apapun yang dihadapi orang atau sesuatu yang menjadi kebutuhan orang ia selalu dapat menawarkan dan memberikan solusi. Bahkan setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu dapat dipahami oleh logika setiap orang yang mendengarnya walaupun didengar oleh orang-orang yang memiliki disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda-beda.

Sayangnya ilmu pengetahuan agama yang diketahui dan dikuasai seorang muslim kognitif ini hanya sebatas pengetahuan belaka. Ilmu pengetahuan agama yang “disemburkannya” kepada publik yang haus ilmu keislaman ternyata tidak dikelolanya secara baik sehingga tidak pula membekas dalam dirinya. Seorang muslim ini ternyata lebih nyaman memberikan penerangan ratusan watt kepada muslim lainnya, sementara ia sendiri lebih memilih hidup di dalam kegelapan, bahkan tanpa adanya penerangan.

Di tengah kondisi moral yang serba carut marut dan ditambah dengan kemungkaran yang semakin kontemporer, muslim kognitif ini pun ternyata memandang kemungkaran sebagai hobby dalam hidupnya bahkan begitu massif (tinggi). Melalui penguasaannya terhadap ilmu agama, ia mampu membuat retorika kehidupannya yang imitatif (palsu) di balik nilai-nilai agama yang selalu dihembuskannya. Ia begitu piawai menggunakan nilai-nilai ajaran Islam untuk dijadikan sebagai sebuah dalil argumentatif sekaligus justifikasi untuk membenarkan setiap tindakan-tindakannya yang justru mengebiri ajaran Islam sendiri.

Muslim kognitif ini mungkin sering mendendangkan firman Allah Q.S. al-Ankabūt [29: 45] bahwa shalat dapat menjauhkan atau setidaknya mengendalikan kemungkaran, namun kecenderungan berbuat kemungkaran tersebut masih tetap “bertengger” bahkan “terpaku” di kepalanya. Ketika sikap mementingkan diri sendiri dan menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan pelbagai upaya serta perilaku amoral menjadi trend kehidupan masa kini, muslim kognitif ini pun berperilaku demikian bahkan penuh dengan kreasi.

Ketika muslim kognitif ini menjadi pimpinan, ia selalu menyuarakan pentingnya dan bahkan mewajibkan untuk mengimplementasikan etos kerja kepada bawahan, sementara etos kerjanya sendiri tidak dapat diukur secara empiris (fakta), terlebih lagi secara rasionalis. Ia mewajibkan berdisiplin, sementara ia sendiri merasa kebal terhadap aturan berdisiplin. Begitu juga ketika manangani suatu kegiatan yang memiliki kucuran dana, sehingga sangat menggiurkan bagi setiap orang, namun muslim kognitif ini merasa bahwa hanya ia di antara orang-orang di lingkungannya yang paling dapat dipercaya, baik untuk mengelola kegiatan tersebut atau pun berkaitan dengan persoalan pendanaan. Kurangnya kepercayaan ini akhirnya membuat muslim kognitif ini pun tidak “mampu” mendelegasikan sebagian wewenang yang dimilikinya kepada bawahan. Kendati pendelegasian tersebut dilakukan, itu pun hanya berupa setumpuk pekerjaan, sementara dana dalam pelaksanaan kegiatan tersebut begitu "disayanginya" layaknya uangnya sendiri. Ketika seseorang bertanya terkait dengan dana tersebut, muslim kognitif ini langsung bersuara lantang layaknya seorang orator ilmiah yang sedang mempresentasikan karya ilmiah. Namun ujung-ujungnya ternyata ia berargumentasi dengan pernyataan “kita sebagai abdi negara” atau yang lebih parah berlindung dengan dalil agama “ikhlas”.
Kalimat “kita sebagai abdi negara” atau kata “ikhlas” ini pun barangkali merasa “bingung” mengapa ia dijadikan sebagai alat pelindung para bandit muslim kognitif tersebut.

Hal yang tidak berbeda, ketika sebagai bawahan ia selalu “menggerogoti” pimpinan untuk mewujudkan segala keinginannya. Di depan pimpinan setiap hari muslim kognitif ini menebarkan pesona agar dinilai sebagai pekerja yang baik. Ia pun terbiasa “bersyair” dengan suara lirih untuk menebarkan opini-opini negatif terhadap mitra kerja yang menjadi saingannya.

Parahnya, apabila perilaku muslim kognitif ini juga dimiliki seseorang yang dipandang sebagai ulama. Setiap hari ia memberikan “wejangan” kepada muslim lainnya untuk saling tolong menolong dalam kebaikan seperti dalam Q.S. al-Maidah [5: 2], namun ia sendiri jauh dari kehidupan tersebut. Ketika di lingkungan tempat tinggalnya mengadakan jaga malam (ronda) untuk keamanan kampung secara bergiliran, pada waktu giliran seorang ulama ini tiba, ternyata ia hanya mengutus seseorang untuk menggantikannya jaga dengan alasan bahwa pada esok harinya ia dijadwalkan menyampaikan “wejangan” keagamaan, sehingga ia pun membutuhkan waktu untuk beristirahat. Begitu pula ketika di lingkungan tempat tinggalnya mengadakan pembersihan lingkungan, seorang ulama atau muslim kognitif ini tidak dapat ikut serta dengan alasan menunggu tamu yang ingin berkonsultasi.

Tidakkah terpikirkan oleh mereka, bahwa sebagai manusia mereka juga memiliki kewajiban untuk ikut ronda dan ikut pula bekerja bakti?. Padahal mereka sendiri selalu menyuarakan untuk saling tolong menolong. Akhirnya semua orang pun berhak bertanya, apakah alasan untuk menyampaikan “wejangan” keagamaan pada keesokan harinya dan menunggu tamu untuk berkonsultasi lebih utama dari ronda dan kerja bakti, sementara semua orang mengetahui bahwa ronda dan kerja bakti tersebut juga termasuk salah satu dari aplikasi firman Allah Q.S. al-Maidah [5: 2] di atas. Ulama seperti ini tidak saja dapat diberikan gelar muslim kognitif tetapi pantas pula diberikan gelar ulama eksklusif.

Berbeda dengan gelar muslim lainnya. Muslim apektif dan muslim psikomotorik tidak hanya membiarkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya terbuai dalam kepuasan intelektual semata dan hanya bergerak di alam normatif, namun berusaha membangunkannya untuk diresapi ke dalam jiwa sehingga dapat dimanifestasikan ke dalam dunia nyata. Terbiasanya hidup beragama dengan cara memperhatikan getaran-getaran jiwa, seseorang tidak saja berada dan menjadi muslim apektif, namun ia akan menjadi muslim psikomotorik yang dapat dibuktikan dari semakin terampilnya seseorang menggunakan ilmu pengetahuan yang dikuasainya untuk diwujudkan ke dalam dunia empiris.

Sampai di sini, dan barangkali apabila kita menilai diri kita sendiri, di mana posisi kita saat ini. Semoga bermanfaat. Wallāh A’lām bi ash-Shawāb.

Written by Abdul Helim
Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Muslim Kognitif Perusak Agama dan Citra Umat Sahabat bisa menemukan artikel Muslim Kognitif Perusak Agama dan Citra Umat dengan URL http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/muslim-kognitif-perusak-agama-dan-citra_20.html, Silahkan kutip artikel Muslim Kognitif Perusak Agama dan Citra Umat jika dipandang menarik dan bermanfaat, namun, tolong mencantumkan link Muslim Kognitif Perusak Agama dan Citra Umat sebagai Sumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Kami berharap anda dapat memberikan komentar, tetapi komentar yang relevan dengan artikel dan diharapkan menggunakan bahasa yang etis. terima kasih

Posting Lebih Baru Posting Lama