Select a Language

Senin, 14 Mei 2012

MENALAR KEHENDAK TUHAN (‘Illah Doktrin Idah dalam Ijtihad Qiyasi)


Abstrak

MENALAR KEHENDAK TUHAN (‘Illah Doktrin Idah dalam Ijtihad Qiyasi).Penelitian ini dilatarbelakangi tidak jelasnya ‘illah doktrin idah baik dalam Alquran maupun Hadis, dan tidak pula penjelasan dari para pakar tafsir atau pun pakar ushul fikih tentang ‘illah doktrin tersebut. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini berkaitan dengan ‘illah hukum disyariatkannya doktrin idah dan relevansi ‘illah tersebut dengan zaman sekarang dan kaitannya dengan ijtihad qiyasi. Penelitian agama atau normatif dalam hukum Islam ini digali dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier dengan menggunakan pendekatan ushul fikih [ta’lili dan qiyasi] dan pendekatan kontekstual.

Dalam Alquran tidak ditemukan secara eksplisit [manshushah] motif atau ‘illah disyariatkannya doktrin idah. Para pakar tafsir dan ushul fikih pun tidak secara jelas menyatakan adanya ‘illah tersebut. Mereka hanya menyatakan keberadaan idah adalah untuk mengetahui
ada atau tidak adanya janin dalam rahim isteri [libara’ah ar-rahm], sebagai bela sungkawa [tafajju’] atas wafatnya suami, atau sebagai media untuk berpikir agar dapat rujuk kembali, bahkan sebagai ketentuan yang mesti diterima apa adanya [ta’abbudiyyah]. Menurut teori ‘illah beberapa hal itu tidak tepat disebut sebagai ‘illah melainkan hikmah hukum idah, sementara hikmah tidak dapat dijadikan sebagai penentu ada atau tidak adanya doktrin idah. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan baik melalui proses as-sibr wa at-taqsim atau pun melalui tanqih al-manath dan tahqiq al-manath}, ‘illah yang tampaknya lebih tepat untuk doktrin idah adalah “etika.”

Etika merupakan sesuatu yang tepat dijadikan sebagai ‘illah pada doktrin idah, bahkan dengan etika yang tidak terbatas waktu dan tidak terikat dengan kondisi serta berlaku pada setiap orang, maka doktrin idah selalu relevan di setiap kondisi zaman. Oleh karena itu, idah pun tampaknya tidak hanya berlaku pada isteri, tetapi berlaku pula pada suami. Pemberlakuan ini sebenarnya juga termasuk memelihara maksud-maksud syarak, setidaknya berkaitan dengan pemeliharaan jiwa [kondisi psikologis isteri dan anak], akal [beban pikiran isteri dan pendidikan anak], keturunan [kehidupan anak secara umum] dan harta [biaya hidup untuk isteri dan masa depan anak]. Terlebih dalam perspektif ijtihad qiyasi pemberlakuan idah pada suami telah mencukupi syarat dan rukun yang ditentukan sehingga hal ini menjadi qiyas shahih yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Selain itu melalui pembacaan sejarah, Nabi Muhammad saw pun tampaknya juga menjalani masa idah. Nabi tidak langsung menikah sepeninggal Siti Khadijah. Adapun masa idah yang mesti ditempuh tampaknya menyesuaikan dengan masa idah yang dijalani isteri.

Kata Kunci: ‘Illah dan Idah

Penulis : Abdul Helim

Deskripsi : tulisan ini merupakan hasil penelitian individual penulis pada tahun 2011 yang menggunakan perspektif qiyasi (salah satu metode ushul fikih) dan dapat pula dilihat di E-Library STAIN Palangka Raya. Tulisan ini juga masih dalam proses untuk diterbitkan pada salah satu jurnal.
Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul MENALAR KEHENDAK TUHAN (‘Illah Doktrin Idah dalam Ijtihad Qiyasi) Sahabat bisa menemukan artikel MENALAR KEHENDAK TUHAN (‘Illah Doktrin Idah dalam Ijtihad Qiyasi) dengan URL http://ushulfikih.blogspot.com/2012/05/menalar-kehendak-tuhan-illah-doktrin.html, Silahkan kutip artikel MENALAR KEHENDAK TUHAN (‘Illah Doktrin Idah dalam Ijtihad Qiyasi) jika dipandang menarik dan bermanfaat, namun, tolong mencantumkan link MENALAR KEHENDAK TUHAN (‘Illah Doktrin Idah dalam Ijtihad Qiyasi) sebagai Sumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Kami berharap anda dapat memberikan komentar, tetapi komentar yang relevan dengan artikel dan diharapkan menggunakan bahasa yang etis. terima kasih

Posting Lebih Baru Posting Lama