Select a Language

Rabu, 08 Agustus 2012

Ustadz Gadungan Membahayakan Umat

Ustadz Gadungan Membahayakan Umat. Dua hari yang lalu, tepatnya pada hari Senin, 6 Agustus 2012, Wakil Ketua Tim Pemantau TV Ramadan 1433 H dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Imam Suhardjo, di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika seperti yang diberitakan di (http://www2.tempo.co/read/news/2012/08/07/151421835/Awas-Banyak-Ustadz-Gadungan-di-Televisi) mengatakan bahwa harusnya kualitas dan validitas serta keteladanan juru dakwah diperhitungkan. Mungkin sekali maksudnya adalah mestinya para ustadz/penceramah/juru dakwah memperhatikan kualitas yang dibicarakannya dan apabila ia menyampaikan suatu nash, khususnya hadis, mestinya yang benar-benar berkualitas tinggi atau shahih. Selain itu, maksud keteladanan juru dakwah, menurut hemat saya adalah perilaku mereka yang sudah dianggap sebagai ustadz harus menyesuaikan atau sesuai dengan apa yang mereka katakan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. ash-Shaff [61 2-3] yang artinya hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan, amat besar murka Allah apabila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Apa yang saya kemukakan di atas diperkuat dengan perkataan Imam Suhardjo seperti yang diberitakan tempo bahwa banyak tayangan komedi yang berujung pada makian atau melecehkan individu atau sekelompok orang. Ia prihatin, sebagian penceramah agama itu justru larut di skenario komedi. Imam Suharjo mencontohkan tayangan di Indosiar ketika Inul Daratista mengatakan "Pak saya nggak mandul lho, buktinya saya punya anak." Kemudian, ustadz menanggapi dengan perkataan, "Lagian bukannya dibor malah ngebor."

Menurut Imam Suharjo, pernyataan ini justru merendahkan seorang ustadz. Ia juga menyayangkan ustadz lain di Trans TV yang juga ikut ambil bagian waktu joget bersama secara berlebihan. Selain itu Imam mencermati, banyak da’i yang menyampakan riwayat keagamaan dengan akurasi yang rendah dan ia pun berharap para penceramah terus berusaha meningkatkan kompetensinya sebagai ustadz.

Masih di sumber yang sama, menurut Imam Suharjo, ustads yang mempunyai kompetensi bisa dilihat dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif, artinya ustadz mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni. Afektif, ustadz mempunyai kemampuan mengaitkankan ajaran-ajaran agama dengan permasalahan sehari-hari. Sedangkan psikomotorik, ustadz itu mempunyai kehidupan atau perbuatan yang terpuji. "Kalau tidak ada ketiga itu, berarti tidak layak disebut ustadz," ujar Imam Suharjo. Ia berharap stasiun televisi lebih berhati-hati memilih penceramah. Televisi diimbau untuk lebih mengutamakan kompetensi di atas unsur selebriti.

Tanpa bermaksud untuk mencampuri dan ikut menyatakan adanya ustadz gadungan, namun permasalahan ini tidak dapat dihindari karena secara objektif di lingkungan tempat tinggal kita atau di sebuah daerah, kita menemukan para ustadz atau penceramah yang memiliki style seperti yang dikatakan Imam Suharjo di atas. Bahkan sebelum Imam Suharjo, saya sendiri juga sudah pernah menulis artikel tentang Muslim Kognitif Perusak Agama dan Citra Umat.

Hal yang sangat memprihatinkan, ada di antara masyarakat muslim kita yang baru hapal satu atau dua ayat, langsung berdakwah, ada pula yang baru hapal satu dua hadis langsung berdakwah. Yang lebih parah lagi, ada yang baru membaca satu dua buah buku agama, dan kemudian melihat adanya praktik masyarakat muslim yang lain berbeda dari apa yang dibacanya, penceramah atau ustadz ini pun langsung mengatakan orang yang berbeda dengannya adalah salah, bahkan kafir.

Begitu gampangnya penceramah atau ustadz ini menyalahkan orang lain atau bahkan mengkafirkan orang lain, padahal bisa saja orang yang berbeda dari apa yang dipahami ustadz/penceramah ini memiliki argumentasi yang lain atau menggunakan perspektif yang lain. Misalnya, yang dibaca ustadz/penceramah ini hanya buku-buku fikih mazhab Hanafiyah, sementara ia tidak pernah membaca buku-buku dari mazhab yang lain. Ketika ia melihat adanya praktik yang berbeda dari buku-buku fikih Hanafiyah, maka ia langsung menyalahkan orang lain, padahal orang lain tersebut menggunakan perspektif mazhab Maliki, Syafi’i atau pun Hambali.

Contoh lainnya, saya sendiri pernah mendengar salah seorang ustadz yang berfatwa di depan jama’ahnya dengan mengatakan bahwa khusus laki-laki harus memanjangkan jenggot, karena itu sunnah rasul yang shahih yang bertujuan untuk membedakan antara orang Yahudi dan Muslim. Setelah saya kaji, ternyata memang benar hadis yang disampaikan ustadz tersebut adalah shahih. Namun satu hal yang tampaknya dilupakan ustadz, atau barangkali ia tidak mengetahui tentang budaya masyarakat pada waktu nabi mengucapkan sabdanya itu. Budaya yang saya maksudkan adalah bahwa gaya berpakaian orang Arab pada waktu itu sama, menggunakan gamis dan menggunakan surban yang diletakkan di atas kepala. Bahasa yang digunakan pun sama, raut muka juga sama, sehingga dengan banyaknya kesamaan tersebut tampak sulit untuk membedakan apakah ia Yahudi atau muslim. Salah satu strategi untuk membedakan hal itu, menurut analisis saya, nabi pun menyampaikan sabdanya untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Pada waktu itu, hadis nabi ini sangat relevan, namun kalau dibawa ke zaman kita sekarang, tentunya sudah berbeda, sebab untuk membedakan mana yang muslim dengan non muslim tidak lagi dengan jenggot, tetapi banyak faktor yang kita gunakan. Selain itu, saat ini, jenggot telah menjadi trend sebagian orang yang tidak hanya dilakukan umat Islam. Hal lainnya, kalau kita menonton film kungfu dari negeri bambu, banyak suhu-suhunya yang berjenggot, apakah kita langsung menyatakan mereka sebagai muslim...?

Contoh berikutnya, teman diskusi saya pernah secara langsung menyuruh saya agar memendekkan celana saya hingga di atas dua mata kaki, sebab apabila celana yang digunakan menutupi dua mata kaki, maka bisa dikatakan sebagai orang yang sombong dan akan jilat api neraka. Hal ini, katanya bersumber dari hadis nabi sendiri, dan memang benar itu adalah hadis nabi yang shahih. Permasalahannya teman diskusi saya tidak memahami hadis tersebut secara komprehensip, salah satunya situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Dari yang saya pelajari, kain pada waktu itu susah diperoleh, bahkan menurut yang saya pelajari, kain diperoleh dari pedagang china, sehingga boleh dikatakan sebagai kain impor. Tentunya hanya orang-orang yang kaya saja yang bisa membeli kain secara lengkap sesuai dengan tradisi bangsawan Arab yang menggunakan pakaian secara lebar, karena dengan menggunakan pakaian seperti itu tampak terlihat kharismatiknya dan terkadang diiringi dengan rasa sombong seraya memperlihatkan kepada orang lain bahwa ia adalah orang yang kaya.

Masyarakat Arab yang miskin, budak atau pun mantan budak tentunya tidak dapat berpakaian seperti itu dan untuk menghilangkan kesenjangan sosial kala itu, nabi akhirnya bersabda tentang keharusan menggunakan pakaian di atas dua mata kaki, karena apabila melebihinya termasuk orang yang sombong. Tujuan nabi bersabda demikian adalah karena dalam ajaran Islam, manusia satu dengan yang lainnya tidak berbeda dan yang membedakkanya hanyalah takwa seperti dalam Q.S. al-Hujarat [49: 13], sehingga apa yang dikatakan nabi adalah sangat benar, hanya saja menurut hemat penulis hadis tersebut hanya relevan untuk mengatasi permasalahan tersebut pada waktu itu. Kita juga bisa bertanya, mengapa sabda nabi ini hanya difokuskan pada pakaian, jawabannya, karena pada kala itu tidak ada yang bisa dibanggakan kecuali pakaian. Adapun rumah yang digunakan tampak sama, karena tidak ditemukan dari sumber yang saya pelajari adanya arsitektur bangunan pada waktu itu. Begitu juga kendaraan yang dimiliki hanya onta dan kuda yang bisa dimiliki oleh orang kaya dan miskin, tentunya hal ini bisa berbeda dengan zaman sekarang.

Kalau pun masih bersikukuh pada masalah pakaian seperti yang digambarkan dalam hadis nabi itu, saya juga memiliki argumentasi yang lain. Justru menurut yang saya amati selama ini, orang yang bercelana pendek yang masih menutupi lutut, di celana tersebut ada beberapa kantong (silahkan sahabat bayangkan), HP pun digantung di samping kiri ikat pinggangnya, sambil mengisap sebatang rokok, kemudian mengendarai sebuah mobil berkelas selanjutnya masuk ke dalam mall atau sedang check in untuk menumpangi salah satu pesawat, atau turun dari pesawat. Orang yang seperti digambarkan di atas, biasanya menunjukkan sebagai orang yang kaya. Naik pesawat atau turun pesawat tidak perlu menggunakan celana panjang, karena menumpangi pesawat tersebut adalah kegiatan rutin, oleh karena itu cukup dengan berpakaian seperti itu. Menurut hemat saya, untuk zaman sekarang orang yang seperti inilah yang mungkin dikatakan sebagai orang yang sombong, dan seandainya nabi masih hidup, saya pun yakin bahwa nabi akan menaskh apa yang disabdakan beliau pada waktu yang lalu seraya mengharamkan orang yang bercelana pendek walaupun menutupi aurat seperti saat ini.

Menurut hemat saya dan berdasarkan dukungan dari apa yang dikemukakan Imam Suharjo di atas, para ustadz atau penceramah mesti merubah gayanya dalam menyampaikan ceramah. Sebelum menyampaikan fatwa/ceramah, mereka dan kita sendiri, mesti mengkaji topik yang ingin kita bicarakan secara komprehensip seperti adanya pandangan yang berbeda dari ulama zhu’ama terdahulu dengan sekarang, menguasai ulumul qur’an seperti asababun nuzul ayat, menguasai ulumul hadis seperti asbabul wurud, menguasai pula bahasa Arab, menguasai juga sejarah-sejarah Arab pra Islam dan sesudah Islam, situasi dan kondisinya, sosial, budaya dan yang lainnya yang bisa kita pelajari dari buku-buku sejarah yang diakui kredibilitasnya.

Apabila hal ini dapat kita lakukan, termasuk pula para ustadz/penceramah, Insya Allah fatwanya dapat mendatangkan solusi dan bukan mendatangkan masalah terlebih meninggalkan masalah. Mungkin sekali, tidak ada ustadz/penceramah atau kita yang langsung menyalahkan orang lain, karena mereka atau kita menyadari adanya perspektif lain selain yang digunakannya atau yang digunakan kita dan mereka atau pun kita menyadari bahwa kebenaran mutlak hanya dimiliki Allah, sementara kita hanya dapat mendekati kebenaran tersebut yang tentunya masih bersifat relatif. Para ustadz/penceramah atau kita pun tidak mau mengatakan orang yang berbeda dengan kita sebagai orang yang kafir, karena para ustadz/penceramah atau kita menyadari yang berhak menyatakan kafir adalah hanya Allah, dan apabila kita mengatakan muslim lainnya sebagai kafir, berarti kita merebut hak prerogatif Allah yang akhirnya kita melakukan perbuatan syirik. Wallahu’alam bishshawab.
Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Ustadz Gadungan Membahayakan Umat Sahabat bisa menemukan artikel Ustadz Gadungan Membahayakan Umat dengan URL http://ushulfikih.blogspot.com/2012/08/ustadz-gadungan-membahayakan-umat.html, Silahkan kutip artikel Ustadz Gadungan Membahayakan Umat jika dipandang menarik dan bermanfaat, namun, tolong mencantumkan link Ustadz Gadungan Membahayakan Umat sebagai Sumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Kami berharap anda dapat memberikan komentar, tetapi komentar yang relevan dengan artikel dan diharapkan menggunakan bahasa yang etis. terima kasih

Posting Lebih Baru Posting Lama