Select a Language

Jumat, 10 April 2015

Harmonisasi Konsep Kesaksian Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian Islam dan Hukum Acara Peradilan Agama Indonesia



Harmonisasi Konsep Kesaksian Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian Islam dan Hukum Acara Peradilan Agama Indonesia

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi karena Hukum Acara Peradilan Agama menyamakan status kesaksian laki-laki dan perempuan, sementara yang dipahami dari Alquran status kesaksian tersebut berbeda. Oleh karena itu fokus yang diteliti adalah status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Alquran dan hukum acara Peradilan Agama, titik temu di antara keduanya, dan perspektif mas}lah}ah terhadap kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Hukum Acara Perdata. Bahan penelitian legal research ini digali dari bahan primer, sekunder dan tersier, kemudian dikaji melalui pendekatan tah}li>li>, maud}u>‘i> dan ushul fikih serta harmonisasi.
Kedudukan saksi dalam Alquran adalah sebagai rukun dan mesti berjumlah dua orang laki-laki. Apabila saksinya perempuan maka dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki. Ketentuan qat}‘i> ini mesti dilakukan seperti apa adanya karena objek kesaksiannya adalah persoalan yang penting, sehingga tanpa kehadiran saksi berakibat tidak sahnya suatu perbuatan hukum. Berbeda dengan saksi dalam Hukum Acara Perdata yang berkedudukan sebagai salah satu alat bukti yang berperan untuk membuktikan ada atau tidak adanya perbuatan hukum, sehingga status kesaksian pun tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dalam perspektif mas}lah}ah saksi sebagai alat bukti mengandung kemaslahatan yang sangat besar. Samanya nilai kesaksian laki-laki dan perempuan dipandang tidak
bertentangan dengan syarat mas}lah}ah, bahkan sejalan dengan kehendak nas. Logisnya, kesaksian tidak dilihat dari siapa yang menyampaikan, melainkan dilihat dari isi keterangan yang diberikan dan apabila keterangan yang diberikan adalah hal yang sebenarnya, akurat serta kredibel bahkan dapat dipertanggungjawabkan, maka kesaksian pun dapat diterima.


Kata Kunci :    kesaksian, laki-laki, perempuan, kajian Islam, hukum acara, peradilan agama, Indonesia.

Deskripsi : Tulisan ini adalah hasil penelitian kelompok yang dilaksanakan oleh Dr. Ibnu Elmi AS Pelu, SH, MH dan Abdul Helim, S.Ag, M.Ag.

Bagi yang berminat atau terarik dengan tulisan ini dapat menghubungi kami melalui Hubungi Kami. Sekedar mempertegas alasan penelitian ini, secara sekilas kami gambarkan penelitian ini yaitu :

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
…Adapun dalam Hukum Acara Perdata di Lembaga Peradilan Agama di Indonesia sepertinya tidak mempermasalahkan saksi dari jenis kelamin perempuan, termasuk pula jumlah saksi dari jenis kelamin perempuan. Status kesaksian seorang perempuan ketika menjadi saksi di Peradilan Agama Indonesia tampaknya disamakan dengan status kesaksian seorang laki-laki yang artinya kedudukan keduanya tidak berbeda.
Berdasarkan perbedaan ini, dapat dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata yang diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama Indonesia tampak bertentangan dengan pendapat para pakar hukum Islam dan bertentangan pula dengan Alquran[1] yang menyatakan keharusan untuk menghadirkan saksi dua orang laki-laki dan apabila hanya ada satu orang laki-laki, maka dibolehkan untuk disaksikan oleh perempuan dengan syarat sebanyak dua orang. Berbedanya sistem kesaksian yang diterapkan Peradilan Agama Indonesia dengan Alquran dan pendapat para pakar, akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang akhirnya menarik pula untuk diteliti lebih serius.  
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.         Bagaimana status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Alquran?
2.         Bagaimana status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama?
3.         Hal-hal apa saja yang menjadi titik temu status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama dengan Alquran?
4.         Bagaimana status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Hukum Acara Perdata perspektif mas}lah}ah?
Penelitian Sebelumnya
Beberapa upaya telah dilakukan untuk menelusuri penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Upaya tersebut dilakukan dengan cara menelusuri atau membrowsing di pelbagai referensi baik melalui literatur-literatur yang berbentuk skripsi, tesis, disertasi atau pun buku dan jurnal ilmiah yang telah diterbitkan atau pun belum bahkan termasuk pula artikel-artikel yang diposting di berbagai webblog. Upaya maksimal telah dilakukan dan hanya ada beberapa referensi yang ditemukan berkaitan dengan fokus penelitian ini.
R. Eka Murni mahasiswa Strata Satu Jurusan Syariah STAIN Palangka Raya pada tahun 2001 melakukan penelitian dengan judul “Pembuktian melalui Saksi yang tidak Mengetahui secara Langsung dalam Pertimbangan Putusan Perceraian di Pengadilan Agama Palangka Raya Tahun 2001”.
Fokus penelitian ini adalah bagaimana ketentuan-ketentuan saksi sebagai alat bukti, bagaimana  cara saksi memberikan keterangan atau fakta di persidangan, bagaimana sumber data kesaksian, bagaimana cara majelis hakim menggali keterangan saksi di persidangan di pengadilan Agama Palangka Raya.[2] Apabila dipahami dari judul dan rumusan masalah yang dikemukakan, tampaknya penelitian ini hanya dilakukan berdasarkan tidak tahunya saksi secara langsung terhadap persoalan yang menyebabkannya menjadi saksi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis.
Peneliti selanjutnya adalah Abdul Halim seorang mahasiswa Strata Satu Jurusan Syariah STAIN Palangka Raya pada tahun 2006 melakukan penelitian dengan judul “Studi Perbandingan dalam Istinba>t} Hukum Persaksian Talak Menurut Mazhab Sunni dan Syi’i”.[3] Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini hanya terfokus pada perbandingan antara mazhab sunni yang menyatakan bahwa ketika pembacaan ikrar talak kehadiran saksi adalah sunat, sehingga talak tetap jatuh walaupun tidak adanya saksi. Berbeda dengan mazhab syi’i yang menyatakan wajibnya dihadiri saksi dan talak pun tidak sah apabila tidak dihadiri saksi. Dalam penelitian ini tampaknya tidak ditemukan adanya bahasan tentang status kesaksian dari jenis kelamin saksi.
Peneliti lainnya adalah Siti Aisyah mahasiswa Strata Satu Jurusan Syariah STAIN Palangka Raya pada tahun 2007 melakukan penelitian dengan judul “Perspektif Jender tentang Kedudukan Perempuan sebagai Saksi di Pengadilan (Studi Pemikiran asy-Syirazi dalam Kitab al-Muhaz\z\ab)”. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan bagaimana pandangan asy-Syirazi tentang kedudukan perempuan menjadi saksi di pengadilan agama dan bagaimana relevansi pemikiran asy-Syirazi jika dikaitkan dengan jender.
Hasil penelitian ini bahwa kedudukan perempuan sebagai saksi di pengadilan agama nilainya setengah dari kesaksian laki-laki. Apabila perempuan ini menjadi saksi maka objek kesaksiannya hanya berhubungan dengan harta dan pada kasus yang hanya diketahui oleh kaum perempuan secara umum. Selain itu dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki. Kesaksian perempuan tidak diterima dalam masalah rujuk, h}udu>d dan qis}a>s; Kesaksian laki-laki dan dua orang perempuan berlaku juga pada kesaksian masalah sumpah.
Menurut Siti Aisyah, jika dikaitkan dengan jender dan konteks kekinian, pemikiran asy-Syirazi tentang kedudukan saksi perempuan bias jender dan diskriminatif terhadap perempuan. Perempuan dipandang kurang memiliki kompetensi atau dipandang kurangnya pengetahuan yang dimiliki perempuan sehingga nilai kesaksiannya pun kurang. Kenyataannya, menurut Aisyah tidak sedikit kaum perempuan yang memiliki profesi tertentu bahkan melebihi dari yang dimiliki laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan mampu menjadi saksi pada hal-hal yang umumnya dilakukan laki-laki. [4]
Berikutnya, Hermansyah telah melakukan penelitian –tidak diketahui tahun penelitiannya- dengan judul “Analisis Hukum Islam mengenai Peranan dan Kedudukan Saksi Perempuan di Pengadilan Agama”. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan dan kedudukan saksi perempuan dalam suatu lembaga peradilan menurut hukum Islam, bagaimana peranan dan kedudukan saksi perempuan dalam lembaga Peradilan Agama menurut perundang-undangan di Indonesia, bagaimana pandangan hukum Islam tentang peranan dan kedudukan saksi perempuan di Pengadilan Agama dalam perkara perceraian.
Adapun hasil penelitian ini sepertinya dilaporkan tidak begitu jelas dan hanya menyimpulkan bahwa dalam hukum Islam dan hukum Perdata khususnya HIR tidak mempermasalahkan menggunakan kesaksian dari jenis kelamin perempuan dalam perkara perceraian. Namun demikian, secara tersirat dari hasil penelitian ini dapat dipahami bahwa saksi dalam perkara hukum perdata mestinya mengikuti ketentuan dalam hukum Islam.[5]
Peneliti lainnya adalah Muhamad Isna Wahyudi telah melakukan penelitian dengan judul “Nilai Pembuktian Saksi Perempuan dalam Hukum Islam”. Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 8, No. 1, Januari 2009. Persoalan yang dikaji dalam penelitian ini bagaimana kesaksian perempuan di dalam hukum Islam dan bagaimana kedudukan saksi perempuan dalam praktik hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Agama yang semuanya dikaji melalui perspektif jender.
Hasil kajian ini adalah ketentuan yang mensyaratkan dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu orang saksi laki-laki, atau dengan kata lain bahwa nilai pembuktian saksi perempuan adalah setengah saksi laki-laki lebih merupakan ketentuan yang bersifat kondisional dan temporal, bukan ketentuan yang bersifat universal. Hal tersebut disebabkan karena kaum perempuan pada saat itu masih kurang berpengalaman dalam urusan-urusan publik dan budaya yang berlaku adalah menempatkan perempuan untuk hanya berperan dalam wilayah domestik. Oleh karena itu seiring dengan perubahan sosial di masyarakat, nilai kesaksian seorang perempuan sepatutnya diakui sama dengan kesaksian seorang laki-laki. [6]
Itulah beberapa penelitian yang berhasil ditemukan. Apabila dilihat kembali tampak adanya perbedaan dari beberapa hasil penelitian sebelumnya dengan penelitian yang kini dilakukan. Perbedaan tersebut setidaknya dapat dilihat dari perspektif yang digunakan bahwa dalam penelitian ini menggunakan perspektif metodologi hukum Islam (teori-teori hukum Islam atau ushul fikih) baik untuk status kesaksian laki-laki dan perempuan yang berlaku dalam Alquran dan hukum Islam maupun yang diberlakukan dalam Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama Indonesia, sementara pada beberapa penelitian di atas, seperti yang dilakukan Siti Aisyah dan Muhamad Isna Wahyudi menggunakan perspektif jender. Peneliti lainnya seperti Hermansyah yang masih tidak diketahui secara pasti pendekatan dan perspektif yang digunakannya tampak lebih cenderung sependapat dengan yang telah ditetapkan dalam hukum Islam yakni sistem dua berbanding satu.
Oleh karena itu sepanjang pengetahuan penulis, belum ditemukan adanya kajian serupa dengan menggunakan perspektif yang sama sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian pada permasalahan yang telah disebutkan. Kendati adanya keserupaan permasalahan yang digunakan, tetapi dengan berbedanya perspektif yang digunakan dan berbeda pula kecenderungan setiap pengkaji, menambah kepercayaan diri pada penulis untuk melakukan penelitian pada permasalahan tersebut.

BAB VII 
PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini adalah :
1.    Status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Alquran adalah:
a.     Kedudukan saksi dalam suatu akad atau transaksi sangat penting, bahkan Alquran memerintahkan pihak-pihak yang terkait dengan sebuah akad atau transaksi untuk menghadirkan saksi. Jika pada masa yang akan datang terjadi perselisihan maka saksi pada waktu akad atau transaksi berlangsung dapat diminta kembali untuk memberikan keterangan (preventif). Hal ini menunjukkan bahwa sebagaimana yang ditetapkan Alquran yang kemudian dijelaskan Nabi bahwa kedudukan saksi adalah sebagai rukun suatu perbuatan hukum yang tidak boleh tidak mesti ada ketika berlangsungnya akad atau transaksi;
b.    Nilai kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Alquran adalah dua orang perempuan sama dengan satu orang laki-laki. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang qat}‘i>.} selain itu kemestian saksi dua orang perempuan tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi pada waktu itu yang memposisikan laki-laki lebih super dari pada perempuan. Selain itu pada masa tersebut dunia muamalah (bisnis) juga bukan menjadi perhatian besar kaum perempuan, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan terhadap persoalan yang disaksikannya akan lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki yang memang kehidupannya terbiasa dengan urusan muamalah. Oleh karena itu jika salah seorang dari perempuan itu ada yang lupa, maka salah seorangnya dapat mengingatkan kembali sehingga dapat memberikan kesaksian yang akurat dan kredibel.
c.     Perkara-perkara yang disaksikan menurut para pakar tafsir adalah terkait dengan urusan muamalah (bisnis). Namun Imam Hanafi menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya berhak menjadi saksi terkait dengan mumalah tetapi berhak pula menjadi saksi pada bidang hukum keluarga seperti saksi pada akad nikah, talak atau rujuk serta termasuk semua kasus yang lain, kecuali kasus hukum yang berkaitan dengan kasus h}udu>d dan qis}a>s.
2.    Status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama adalah :
a.     Kedudukan saksi dalam Hukum Acara Perdata hanya sebagai salah satu alat bukti;
b.    Nilai kesaksian adalah laki-laki dan perempuan adalah sama; tidak membedakan kesaksian karena berbedanya jenis kelamin;
c.     Perkara-perkara yang disaksikan adalah melingkupi semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali adanya undang-undang yang menyatakan lain.
3.    Titik temu status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama dengan Alquran adalah :
a.     Dengan berbedanya kedudukan saksi sebagai rukun dan saksi sebagai alat bukti menyebabkan berbeda pula fungsi antara keduanya. Saksi sebagai rukun menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum, sementara saksi sebagai alat bukti untuk membuktikan apakah perbuatan hukum tersebut telah dilakukan secara sah atau tidak, atau untuk membuktikan tentang ada atau tidak adanya perbuatan hukum yang telah dilakukan;
b.    Istilah alat bukti tidak ditemukan dalam Alquran kecuali melalui hadis Nabi dengan lafal al-bayyinah. Kendati lafal tersebut dimaknai berbeda oleh para pakar, tetapi lafal ini dapat juga dapat dimaknai sebagai alat bukti, sehingga istilah ini pun dikenal dalam Islam;
c.     Dalam Hukum Acara Perdata, yang diutamakan dalam pembuktian adalah bukti surat atau tulisan, dan apabila diperlukan pembuktian saksi, barulah saksi digunakan. Islam tidak membedakan seperti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata, tetapi apabila dikaji Islam pun telah lama memperkenalkan pembuktian melalui dokumen sebagaimana pada Q.S. al-Baqarah [2: 282] tentang pencatatan;
d.    Hukum Acara Perdata mewajibkan menghadirkan saksi, Alquran pun sejak lama mengharuskannya. Bedanya, saksi dalam Hukum Acara Perdata untuk menyampaikan kesaksian, sementara saksi dalam Alquran untuk menyaksikan akad atau transaksi yang berlangsung;
e.     Apabila saksi diposisikan sebagai rukun, maka semua ulama sepakat tidak menerima saksi dari non-muslim. Berbeda halnya apabila saksi diposisikan sebagai alat bukti, maka menurut mazhab Hanafi dan Ibn Qayyim serta dalam Hukum Acara Perdata kesaksian non-muslim diterima;
f.     Jumlah saksi sebagai rukun mesti dua orang laki-laki dan jika tidak ada saksi dapat dilakukan oleh satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Berbeda apabila saksi sebagai alat bukti, maka yang diutamakan adalah kredibilitas keterangan yang diberikan sehingga siapa pun berhak memberikan kesaksian, bahkan tidak membedakan jenis kelamin.
4.    Status kesaksian laki-laki dan perempuan dalam Hukum Acara Perdata perspektif mas}lah}ah adalah :
a.     Kedudukan saksi sebagai alat bukti termasuk kajian mas}lah}ah al-mursalah yakni tidak ditemukan secara eksplisit nas memberikan dukungan atau pun menolaknya, tetapi apabila dikaji kembali secara keseluruhan, eksistensi saksi sebagai alat bukti mengandung kemaslahatan yang sangat besar dan secara general, nas memberikan dukungan terhadap saksi sebagai alat bukti;
b.         Persamaan nilai kesaksian laki-laki dan perempuan sebagai alat bukti tampaknya tidak bertentangan dengan beberapa ukuran standar metode mas}lah}ah. Selain itu, yang dilihat bukan siapa yang memberikan kesaksian beserta jumlah saksi karena berbedanya jenis kelamin, tetapi yang menjadi perhatian utama adalah materi kesaksian yang diberikan. Apabila materi kesaksian tersebut adalah yang sebenarnya, akurat dan kredibel serta dapat dipertanggungjawabkan, maka pembuktian tersebut diterima.


[1]Lihat dalam Alquran surah al-Baqarah [2: 282].
[2]R. Eka Murni, “Pembuktian melalui Saksi yang tidak Mengetahui secara Langsung dalam Pertimbangan Putusan Perceraian di Pengadilan Agama Palangka Raya Tahun 2001”, Skripsi, STAIN Palangka Raya, Tahun 2002.
[3]Abdul Halim,Studi Perbandingan dalam Istinba>t} Hukum Persaksian Talak Menurut Mazhab Sunni dan Syi’i”, Skripsi, STAIN Palangka Raya, Tahun 2006.
[4]Siti Aisyah, “Perspektif Jender tentang Kedudukan Perempuan sebagai Saksi di Pengadilan (Studi Pemikiran asy-Syirazi dalam Kitab al-Muhaz\z\ab)”, Skripsi, STAIN Palangka Raya, Tahun 2007.
[5]Lihat dalam http://elibrary.unisba.ac.id/files2/06.2158.pdf. (Diakses tanggal 10 Mei 2013)
[6]Lihat http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Nilai%20Pembuktian%20Saksi%20Perempuan%20dalam%20Hukum%20Islam.pdf.  (Diakses tanggal 10 Mei 2013)
Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Harmonisasi Konsep Kesaksian Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian Islam dan Hukum Acara Peradilan Agama Indonesia Sahabat bisa menemukan artikel Harmonisasi Konsep Kesaksian Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian Islam dan Hukum Acara Peradilan Agama Indonesia dengan URL http://ushulfikih.blogspot.com/2014/01/harmonisasi-konsep-kesaksian-laki-laki-dan-perempuan-dalam-kajian-islam-dan-hukum-acara-peradilan-agama-indonesia_11.html, Silahkan kutip artikel Harmonisasi Konsep Kesaksian Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian Islam dan Hukum Acara Peradilan Agama Indonesia jika dipandang menarik dan bermanfaat, namun, tolong mencantumkan link Harmonisasi Konsep Kesaksian Laki-Laki dan Perempuan dalam Kajian Islam dan Hukum Acara Peradilan Agama Indonesia sebagai Sumbernya.

1 komentar:

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Kami berharap anda dapat memberikan komentar, tetapi komentar yang relevan dengan artikel dan diharapkan menggunakan bahasa yang etis. terima kasih

Posting Lebih Baru Posting Lama