Select a Language

Selasa, 28 April 2015

Catatan Akhir Kuliah dengan Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA



Catatan akhir kuliah ini adalah tugas akhir “general review mata kuliah Metodologi Studi Islam“ di bawah bimbingan Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA. Judul general review saya :

Belajar Menjadi Mujtahid
(Refleksi dan Aplikasi Mata Kuliah Metodologi Studi Islam)

Oleh : Abdul Helim
(Mahasiswa S3 UIN Sunan Ampel Surabaya Semester I Tahun Akademik 2014/2015). Dipresentasikan dalam seminar kelas bulan Januari 2015

 Islam tidak bisa didekati (dikaji)
hanya melalui satu pendekatan saja,
tetapi mesti berintegrasi dan berkoneksi
dengan pendekatan-pendekatan yang lain.”
(Prof. Amin Abdullah)

Saat ini kajian keislaman tidak lagi terbatas
hanya pada wilayah fikih, kalam, tasawuf, dan filsafat,
tetapi juga mulai berkoneksi dengan berbagai perspektif dan metodologi
di bidang-bidang keilmuan lain seperti ilmu-ilmu sosial (social sciences), humaniora, ekonomi, psikologi, kedokteran, dan yang lainnya”.
(Prof. Amin Abdullah)

A.   Metodologi Studi Islam : Apa dan Kenapa?!!
1.    Pengalaman Waktu S1
Ketika pertama kali mendapatkan jadwal perkuliahan semester I di Program Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya tahun akademik 2014/2015, saya pun membaca jadwal yang diprogramkan itu. Mata saya langsung tertuju kepada salah satu mata kuliah yang diprogramkan pihak pascasarjana yaitu mata kuliah Metodologi Studi Islam. Memori saya langsung melayang ke masa lalu ketika saya studi S1 tahun 1997 di Jurusan Syari’ah Program Studi ahwal al-syakhshiyah STAIN Palangka Raya (kini telah menjadi IAIN Palangka Raya). Saya teringat kembali dengan beberapa pertanyaan yang pernah saya tanyakan langsung ke dosen saya waktu itu. Apabila dibahasakan kembali pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang lebih demikian :
apa sich hakikat Metodologi Studi Islam itu, kenapa mata kuliah Metodologi Studi Islam selalu ada dalam perkuliahan di setiap Prodi, seberapa pentingnya mata kuliah ini, dan kenapa Islam harus dipelajari dengan metode, serta apakah metode-metode yang ditawarkan dalam Islam belum atau tidak cukup?”.
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang “menghantui” pikiran saya waktu itu. Menurut hemat saya, adanya pertanyaan-pertanyaan di atas adalah hal yang wajar karena Islam sebenarnya dapat dikatakan memiliki seperangkat ilmu yang cukup mumpuni. Di antaranya seperti adanya ilmu al-Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh & ushul fiqh, ilmu tauhid, ilmu tasawuf dan ilmu yang lainnya. Oleh karena itu, mengapa masih menggunakan metodologi lagi.
Sayangnya, saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari dosen saya waktu itu, bahkan jawaban yang diberikan beliau membuat saya menjadi bingung dan tidak satu pun jawaban-jawaban tersebut yang saya ingat sampai sekarang. Di sisi lain materi-materi yang disampaikan pun pada waktu itu tidak lebih seperti Pengantar Studi Islam. Ada yang berkaitan dengan akidah, hukum Islam (fiqh & ushul fiqh), dan bahkan tasawuf / akhlak. Menurut hemat saya, materi-materi yang serupa pun dapat ditemukan di dalam mata kuliah tersendiri, tanpa harus mengikuti mata kuliah ini.
Seiring dengan perjalanan waktu, saya pun mengembara seorang diri untuk melakukan pencarian agar dapat melepaskan dahaga saya itu. Hal ini disebabkan karena pertanyaan “kenapa Islam dipelajari dengan metodologi” selalu bergentayangan di pikiran saya.    
Sampai akhirnya ketika tiba waktunya untuk mempersiapkan proposal skripsi dan di tengah melakukan pencarian tersebut saya menemukan beberapa buku yang ditulis oleh Prof. Munawir Sjadzali yaitu Reaktualisasi Hukum Islam diterbitkan oleh Paramadina dan buku beliau lainnya dengan judul Ijtihad Kemanusiaan juga diterbitkan oleh Paramadina. Selain itu saya juga menemukan buku bunga rampai yang diedit oleh Muhammad Wahyuni Nafis dengan judul Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, dengan terbitan yang sama yaitu Paramadina.
Di dalam buku-buku tersebut Prof. Munawir Sjadzali mengkaji kembali tentang bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan. Ia menawarkan reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum kewarisan Islam dan menyimpulkan bahwa sangat memungkinkan di zaman sekarang ini perempuan mendapatkan bagian waris yang sama dengan laki-laki. Saya pun tertarik dengan pemikiran itu yang kemudian saya jadikan sebagai proposal skripsi saya. Ternyata saya mendapatkan tantangan ketika seminar proposal karena penelitian kontroversial seperti itu masih jarang dilakukan di kampus saya. Namun dengan berbagai argumentasi yang saya sampaikan dan atas pertimbangan bijak dari dosen-dosen penguji waktu itu, saya dapat meneruskan proposal saya untuk dijadikan skripsi dengan judul Pemikiran Munawir Sjadzali tentang Hukum Kewarisan Islam (Analisis terhadap Bagian Anak Laki-Laki dan Perempuan).
Tepat pada tahun 2001 saya berhasil mempertahankan skripsi saya di depan sidang munaqasyah dan pada tahun ini pula saya wisuda serta resmi menjadi Sarjana Agama (S.Ag). Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa saya setuju dengan pemikiran Prof. Munawir Sjadzali. Saya mendapatkan pelajaran bahwa ayat kewarisan Islam sebagaimana dalam Q.S. al-Nisa:  11-12, diturunkan di saat perempuan pada waktu itu masih dianggap seperti barang yang dapat diwariskan, sehingga al-Qur’an tidak serta merta memberikan bagian waris yang sama dengan laki-laki. Kini zaman telah berubah dan di ayat-ayat yang lain tidak sedikit dinyatakan tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan sehingga apabila dikaji dengan menggunakan metode maudhu’i, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an secara tersirat menyatakan kesamaan bagian waris antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal tersebut saya mulai menyadari bahwa ajaran Islam, khususnya hukum Islam tidak bisa diterapkan begitu saja tanpa memperhatikan situasi, kondisi, sosial, budaya kekinian dan situasi, kondisi, sosial, budaya ketika hukum tersebut diperkenalkan. Sejak saat itu, saya mulai bergairah untuk mengkaji Islam dengan pendekatan kontekstual sebagaimana yang dilakukan Prof. Munawir Sjadzali. 
Uniknya dari pengalaman ini, saya tidak menyadari bahwa saya mulai menerapkan sebagian dari Metodologi Studi Islam dan tidak ada yang memberitahukan bahwa saya menerapkan ilmu tersebut. Saya pun baru menyadari hal ini setelah saya studi S2 melalui buku-buku yang saya pelajari.
2.    Pengalaman Waktu S2 
Ketika saya ingin melanjutkan pendidikan S2 yakni pada tahun 2006, awalnya saya ingin melanjutkan ke Hukum Keluarga di UIN Sunan Kalijaga. Namun keinginan tersebut saya urungkan karena saya mendapatkan informasi bahwa ada konsentrasi fiqh/ushul fiqh di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo. Saya tertarik dengan konsentrasi tersebut yang membuat saya menjadi mahasiswa Strata Dua (S2) di Universitas itu.
Ternyata pada mata kuliah yang diprogramkan selama tiga (3) semester, tidak ada ditawarkan mata kuliah Metodologi Studi Islam. Padahal sebenarnya, berdasarkan dari pengalaman saya membaca buku Prof. Munawir Sjadzali, mestinya konsentrasi fiqh/ushul fiqh yang kedudukannya sebagai Metode istinbath Hukum Islam atau disebut juga Metodologi Hukum Islam selalu bersentuhan dengan Metodologi Studi Islam, tetapi seperti itulah kenyataannya.
Saya pun kembali lagi mengembara seorang diri menjelajah dan mencoba meraba dunia Metodologi Studi Islam yang masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab ketika saya masih S1. Di dalam pengembaraan tersebut tepatnya di semester dua awal tahun 2007, saya menelusuri kota Yogyakarta khususnya di toko-toko buku. Saya membeli buku yang ada kaitannya dengan pemikiran dan pembaharuan yang tentunya saya yakini sebagai bagian dari Metodologi Studi Islam. Buku-buku tersebut di antaranya Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? tulisan Prof. Amin Abdullah dan buku beliau yang baru terbit yaitu Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif serta mencari tulisan-tulisan beliau lainnya di berbagai Jurnal atau pun di internet.
Saya juga membeli buku Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek yang ditulis Prof. Atho Mudzhar dan membeli buku-buku terjemahan yang ditulis para pemikir Islam di dunia Islam seperti tulisan-tulisan Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Muhammed Arkoun, Mahmoud Muhammed Taha, Abdullah Ahmed an-Na’im, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Abed al-Jabiri, Ali Harb dan Muhammad Syahrur. Begitu juga buku-buku yang ditulis dosen-dosen UIN Sunan Kalijaga dengan mazhab Yogja-nya, salah satunya seperti yang ditulis oleh Prof. Amin Abdullah dan kawan-kawan dengan judul Re-Strukturisasi Metodologi Islamic Studies: Mazhab Yogyakarta. Termasuk pula buku yang diedit oleh Dudung Abdurrahman dengan judul Metodologi Penelitian Agama : Pendekatan Multidisipliner yang di dalamnya terdapat Kata Sambutan Prof. Amin Abdullah selaku Rektor dan terdapat juga tulisan beliau dengan judul Metodologi Penelitian dalam Pengembangan Studi Islam.
Sebagian besar dari buku itu telah saya baca dan saya pelajari sendiri sedikit demi sedikit sampai saya mengakhiri studi S2 saya pada tahun 2008 (M.Ag) dan setelahnya tetap saya pelajari. Saya mendapatkan pencerahan dari karya-karya di atas yang tidak saya dapatkan di kelas yang saat itu saya sedang kuliah S2.  Melalui tulisan-tulisan Prof. Amin Abdullah saya mulai memahami bahwa Islam tidak bisa didekati (dikaji) hanya melalui satu pendekatan saja, tetapi mesti berintegrasi atau setidaknya berkoneksi dengan pendekatan-pendekatan yang lain. Begitu juga melalui buku yang diedit oleh Dudung Abdurrahman, di situ ditawarkan berbagai pendekatan untuk mengkaji Islam, seperti pendekatan sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, dan filologi.  Namun demikian karena buku-buku itu dipelajari secara otodidak, persoalan-persoalan pun masih tersisa walaupun tidak sebesar ketika saya masih S1.
3.    Pengalaman di Semester I S3
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ketika pertama kali mendapatkan jadwal perkuliahan semester I di Program Doktor (S3) UIN Sunan Ampel Surabaya, saya membaca jadwal mata kuliah. Mata saya pun langsung tertuju kepada salah satu mata kuliah yakni Metodologi Studi Islam. Saya teringat kembali kepada beberapa persoalan yang masih tersisa dan pertanyaan-pertanyaan saya sejak S1 tentang mata kuliah ini.
Akan tetapi setelah saya melihat yang membimbing mata kuliah ini adalah Prof. Amin Abdullah, persoalan-persoalan saya itu dengan seketika menjadi lenyap, seakan-akan telah terjawab hanya dengan nama Prof. Amin Abdullah. Saya akui bahwa selama ini saya hanya membaca karya-karya beliau dan tidak pernah dibimbing secara langsung oleh beliau. Namun di Program Doktor ini saya bisa bertemu langsung dengan beliau dan secara otomatis diakui atau tidak saya resmi menjadi murid Prof. Amin Abdullah yang berkaliber internasional itu. Kompetensi Profesor ini tidak diragukan lagi dan saya yakin khususnya di Indonesia baik mahasiswa ataupun para akademisi lainnya bahkan kalangan praktisi tidak sedikit mendapatkan pencerahan dari beliau.
Namun demikian pada saat pertemuan pertama, kerisauan pun muncul di hati saya, terutama ketika melihat salah satu penekanan dalam pembuatan makalah sebanyak delapan (8) point abstrak, permasalahan (kegelisahan akademik), kerangka teori/konseptual (the way to think), studi pustaka, metode (the way to obtain data), konsep dasar (key concept), sistematika dan kontribusi. Di sisi lain ada salah seorang teman bertanya kurang lebih demikian : “Prof… apakah dalam pembuatan makalah ini berkelompok?”. Dengan seketika Prof. Amin menjawab kurang lebih demikian : “o… dalam mata kuliah saya tidak ada tugas kelompok, semua dibuat sendiri-sendiri dan hindari plagiasi, jangan lupa pakai power point!”.
Kerisauan tersebut ternyata menjadi kenyataan. Khususnya pada pertemuan kedua, makalah tentang filsafat pragmatisme Charles S. Pierce, ada [………..], sehingga dihentikan oleh Prof. Amin Abdullah memaparkan makalahnya, bahkan pada pertemuan ketiga makalah tentang epistemologi bayani, burhani dan ‘irfani Abid al-Jabiri, ada juga ditemukan permasalahan lainnya. Ntah apa maksudnya, yang jelas hal tersebut membuat keringat dingin bermunculan, padahal di tengah ruang yang ber-AC. Saya pun berbicara dengan diri saya sendiri, “wah ternyata seperti ini belajar dengan seorang Prof. berkaliber internasional”.
Namun di tengah kerisauan itu, justru pada kuliah kedua dan ketiga itulah secara sedikit demi sedikit merupakan langkah awal saya mulai mendapatkan jawaban yang menjadi pertanyaan saya sebelumnya. Saya pun mulai berasumsi bahwa mata kuliah ini adalah penting dan harus benar-benar diikuti agar mendapatkan pemahaman yang maksimal. Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, wawasan saya mulai terbuka dan pertanyaan-pertanyaan yang menghinggapi saya mulai terkikis satu persatu hingga akhir perkuliahan, saya mencapai titik nol, bulat dan utuh, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan seperti sebelumnya.
Saya sangat menikmati perkuliahan Metodologi Studi Islam di bawah bimbingan Prof. Amin Abdullah. Terlebih ketika giliran saya mempresentasikan makalah dengan judul Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam Perspektif Mashood A. Baderin, menurut tafsir subjektif saya bahwa Prof. Amin Abdullah mengapresiasi makalah saya termasuk pula mind map dan power point yang saya buat. Hal ini menambah kepercayaan diri saya untuk menulis kembali makalah berikutnya dengan judul Pemikiran  Jasser Auda tentang Metode Istinbath Hukum Islam (Teori Sistem sebagai Metode Analisis). Di dalam makalah tersebut saya memberanikan diri menerapkan 6 fitur teori sistem Jasser Auda untuk menganalisis 3 persoalan hukum Islam yaitu tentang pencatatan akad nikah, poligami dan iddah bagi suami yang menyimpulkan bahwa pencatatan akad nikah wajib yang kedudukannya dapat menjadi syarat sah akad nikah atau bisa juga menjadi salah satu rukun akad nikah,  poligami membawa kemudaratan yang sangat besar kecuali dalam keadaan darurat dan hukum iddah dapat diberlakukan pada suami. Menurut tafsir subjektif saya, Prof. Amin Abdullah kembali mengapresiasi makalah saya termasuk pula mind map dan power point yang saya buat.
Apresiasi yang saya dapatkan itu, karena saya juga meyakini bahwa saya menulis makalah dengan serius dan dengan upaya yang maksimal untuk memenuhi delapan (8) point yang ditekankan serta saya meyakini makalah-makalah saya adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan-kutipan yang dibenarkan sesuai dengan standar ilmiah. Kendatipun demikian, saya juga mengakui bahwa dengan modal keterampilan menulis yang masih minim, dipastikan pula masih banyak kekurangan dan kekeliruan.   
Terlepas dari hal tersebut, sekali lagi saya menyatakan bahwa secara bulat dan utuh saya sangat menikmati perkuliahan ini dan memandang bahwa Metodologi Studi Islam amat penting bagi para penstudi Islam. Saya mengikuti (ittiba), bahkan menerima serta meyakini sepenuhnya seperti yang dikemukakan Prof. Amin Abdullah di dalam tulisannya al-Ta’wi>l al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Vol. 39 No. 2, Juli-Desember 2001), 366 dan terdapat pula pada buku beliau Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), vii-viii, 184, 361 dst, bahwa saat ini kajian keislaman tidak lagi terbatas hanya pada wilayah fikih, kalam, tasawuf, dan filsafat, tetapi juga mulai berkoneksi dengan berbagai perspektif dan metodologi di bidang-bidang keilmuan lain seperti ilmu-ilmu sosial (social sciences), humaniora, ekonomi, psikologi, kedokteran, dan yang lainnya. Maksudnya di sini bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang holistik dan multidimensional maka kajian-kajian keislaman sangat penting berintegrasi atau paling tidak berinterkoneksi dengan keilmuan lain yaitu dengan cara memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan dalam ilmu sosial dan humaniora tersebut, dimana hal ini disebut juga dengan Pendekatan Integratif-Interkonektif. Dengan adanya teori brilian ini, tampaknya tepat apabila dikatakan bahwa Prof. Amin Abdullah adalah salah seorang dari mujtahid kontemporer.
B.   Pelajaran Penting yang Diperoleh
Selama bergelut dalam mata kuliah Metodologi Studi Islam, saya memperoleh banyak pelajaran yang membekas dan berkesan baik di dalam pikiran ataupun di dalam perasaan saya. Dalam hal ini saya bagi ke dalam dua (2) macam yaitu dari segi psikologis dan dari segi keilmuan.
1.    Dari Segi Psikologis 
Dari segi psikologis yang dimaksudkan di sini, bahwa selama mempelajari dan berusaha aktif di perkuliahan Metodologi Studi Islam, saya mendapatkan semacam pencerahan secara psikologis. Beberapa hal tersebut adalah :
a.    Menurut tafsir subjektif saya sebagaimana saya sebutkan pula sebelumnya bahwa Prof. Amin Abdullah memberikan apresiasi terhadap dua (2) makalah yang saya susun. Ada kepuasan tersendiri yang hanya diri saya yang dapat membayangkannya, walaupun saya juga mengakui di berbagai segi masih terdapat kekurangan dan kekeliruan;
b.    Menurut tafsir subjektif saya bahwa Prof. Amin Abdullah memberikan apresiasi juga terhadap dua (2) power point yang saya tampilkan, kendatipun juga masih banyak kekurangan;
c.    Menurut tafsir subjektif saya, di setiap makalah yang saya susun, saya selalu menyertakan mind map makalah, dan tampaknya para teman-teman sekelas dapat memahami makalah itu tanpa harus membolak balik makalah yang saya susun. Selain itu, Prof. Amin Abdullah tampaknya memberikan apresiasi juga;     
d.    Saya bersyukur atas semua apresiasi yang diberikan, dan saya lebih puas karena saya mengikuti perkuliahan ini serta membuat makalah dengan serius (walaupun belum tentu benar), dikonstruksi sendiri sehingga disebut karya sendiri kecuali kutipan-kutipan sesuai dengan standar ilmiah.
e.    Selama membimbing, Prof. Amin Abdullah menurut perasaan saya terkadang bertindak sebagai trainer, tetapi saya mensyukuri hal tersebut. Seandainya Prof. Amin Abdullah tidak bertindak demikian, mungkin saya tidak mampu membuat makalah dan power point dengan baik, bahkan sama sekali tidak mengenal yang namanya mind map.  
Itulah beberapa hal yang saya peroleh secara psikologis dan saya merasa mendapatkan spirit yang luar biasa sehingga membuat saya lebih percaya diri untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran kendatipun dianggap kontroversial.  Beberapa di antaranya seperti 6 fitur teori sistem Jasser Auda yang saya terapkan untuk menganalisis 3 persoalan hukum Islam yang telah saya kemukakan sebelumnya. Selain itu, melalui dukungan dan apresiasi ini saya berusaha untuk terus memperbaiki diri dalam proses yang tiada henti.
2.    Dari Segi Keilmuan  
Pelajaran-pelajaran yang saya peroleh dari segi keilmuan dibagi ke dalam dua bagian yaitu :
a.    Terkait dengan Keterampilan Baca Tulis Ilmiah
Berdasarkan ketentuan delapan (8) point yang ditekankan dalam menulis makalah seperti dikemukakan sebelumnya, maka hal tersebut merupakan pengetahuan yang baru bagi saya. Saya mengakui melalui delapan (8) point itu dapat menambah modal keterampilan menulis ilmiah saya yang masih minim, bahkan melalui delapan (8) point itu pula ternyata berpengaruh dengan cara baca saya terhadap sebuah karya.
Hal di atas akan saya terapkan pada materi-materi keilmuan yang menjadi bidang saya khususnya dalam ilmu ushul fiqh. Kendatipun masih dalam tahap belajar, saya memperoleh manfaat yang luar biasa dengan menerapkan delapan (8) point itu. Hal ini karena sangat membantu dalam memahami inti sebuah tulisan bahkan menurut saya mampu mengarahkan semua orang untuk menulis secara kreatif dan mandiri tanpa melepaskan esensi-esensi yang disampaikan oleh suatu tulisan yang menjadi referensi. Bahkan melalui delapan (8) point ini, saya memperoleh ilmu tentang membuat mind map yang selalu dituntut oleh Prof. Amin Abdullah kepada para mahasiswanya.  
b.    Terkait dengan Materi Kuliah Metodologi Studi Islam
Apabila ditanyakan materi-materi mana yang memberikan kesan dan penting serta dapat menggugah serta mencerahkan pemikiran, menurut hemat saya semua materi yang dipelajari sebenarnya memberikan kesan dan dapat menggugah serta mencerahkan pemikiran. Namun apabila diminta untuk memilih, tentunya saya juga memiliki pilihan sesuai dengan kecenderungan dan disiplin ilmu saya. Akan tetapi sebelum menentukan pilihan tersebut, ada satu hal yang menurut saya tidak
Terkait dengan kunci ilmu yang disebutkan di atas, saya teringat dengan sebuah hadis nabi (shahih atau tidaknya hadis tersebut) yang jelas teks yang sampai ke saya adalah :
أنا مدينة العلم وعلي بابها
Menurut pemahaman saya untuk menyelami lautan ilmu pengetahuan, hal penting yang dilakukan adalah mencari pintunya karena melalui pintu inilah kita dibimbing untuk mulai melangkah dalam penyelaman ilmu pengetahuan. Pintu itu pun tidak dapat dibuka apabila tidak menemukan kuncinya dan berarti kedudukan kunci di sini adalah sangat penting agar terbukanya pintu sehingga dapat menyelami ilmu pengetahuan yang dimaksud. Apabila dikaitkan dengan mata kuliah Metodologi Studi Islam, maka kuncinya adalah Prof. Amin Abdullah sendiri atau dosen-dosen lain yang memegang mata kuliah Metodologi Studi Islam. Tentunya dosen-dosen tersebut mesti memiliki pandangan dan pemikiran yang seirama dengan Prof. Amin Abdullah.
Saya yakin apabila kita langsung terjun ke lautan ilmu atau ke belantara ilmu tanpa terlebih dahulu mencari kuncinya, maka kita akan “tersesat” di lautan atau di belantara ilmu itu sendiri. Saya teringat dengan sebuah teks (saya tidak mengetahui secara pasti apakah teks ini adalah hadis, ucapan ulama atau sebuah ungkapan) yang jelas tulisannya adalah :
من لم له شيخ فالشيطان شيخه
Saya memahami teks di atas bahwa “orang yang menyelami ilmu pengetahuan tanpa terlebih dahulu mencari kunci dan pedomannya, maka akan tersesat itulah yang menjadi gurunya atau tersesat dalam ilmu itu sendiri”.  Kata syaitan saya artikan tersesat.
Saya mengkritik orang yang mengagungkan slogan “kembali kepada al-Qur’an dan hadis” yang menurut saya apabila tidak hati-hati termasuk “memotong kompas” dan menghilangkan siklus ilmu pengetahuan yang akhirnya membuat mereka terjebak dalam pemahaman mereka sendiri. Akibatnya, mereka pun cenderung berpikir literal, normatif, doktriner, biner, satu dimensi, tidak holistik dan tidak terbuka serta ambigu.     
Oleh karena itu, kedudukan guru adalah sangat penting untuk mengantarkan kita memasuki belantara ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Melalui Prof. Amin Abdullah yang menurut saya adalah kunci Metodologi Studi Islam, saya mendapat pengetahuan yang baru dan menurut saya sangat penting dipelajari oleh setiap penstudi Islam, khususnya hukum Islam. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut :
1)    Filsafat Pragmatisme : Proses Pencapaian Meaning menjadi Belief
            Dalam proses pencapaian meaning agar dapat menjadi belief kembali, saya belajar sesuatu yang baru tentang Charles S. Pierce. Teori bangunan epistemologi filsafat pragmatis yang dikemukakan Charles S. Pierce adalah seperti berikut ini :

Menurut pemahaman saya bahwa yang menjadi titik tekan dalam teori di atas adalah pada doubt. Oleh karena itu saya melihat bahwa pentingnya dilakukan tindakan kritis yang dirangkai dalam tahapan-tahapan doubt terhadap habit of mind yang meniscayakan adanya research/investigation/inquiry sehingga mampu menghasilkan pemaknaan-pemaknaan atau makna hakiki (meaning) berdasarkan mashlah dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional sehingga dapat menjadi belief yang kokoh.
Seiring dengan perkembangan zaman, situasi dan kondisi, aktivitas di atas tentunya dilakukan secara terus menerus dan tidak ada yang final. Semua terus berproses dan berputar seperti sebuah roda untuk selalu melakukan research sehingga mampu menciptakan keunikan-keunikan yang progresif dan dinamis. Belief yang berdiri kokoh dan kemudian menjadi habits of mind mesti selalu diiringi dengan doubt agar timbulnya motivasi research yang dengannya dihasilkan meaning agar dapat menjadi belief kembali. Begitulah seterusnya berputar dan berproses seperti halnya teori paradigma revolusi ilmiah Thomas Khun yaitu Paradigma I – normal – anomali – krisis – revolusi – paradigma II (baru).
Jika dikaitkan dengan hukum Islam, khususnya terhadap kumpulan fatwa para ulama, maka melalui teori Charles S. Pierce dapat dipahami bahwa tidak semua fatwa yang bisa selalu relevan di setiap generasi dan di tempat yang berbeda atau selalu dapat digunakan di setiap masa. Saya pun teringat dengan pendapat Jasser Auda yang mengatakan : If the fatwa is copied verbatim from some classic book in the Islamic law, then it is quite possibly flawed because it is quite probably addressing  different world with different circumstances”.
Oleh karena itu, menurut saya masyarakat muslim atau pengkaji hukum Islam mesti memiliki jiwa kritis dan doubt terhadap fatwa-fatwa terdahulu agar tidak menerima begitu saja terlebih lagi menganggapnya sakral. Ia dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman sebagaimana dalam teori cognitive Jasser Auda yang dilakukan melalui research. Agar hasil penelitian dapat holistik, utuh, terbuka, multi dimensi dan untuk mencapai kemaslahatan (purpose) sebagaimana yang dikemukakan Jasser Auda, maka penelitian ini pun tentunya harus menggunakan pendekatan yang terangkum dalam pendekatan integratif interkonektif Amin Abdullah.    
Hasil penelitian tersebut yang dianggap menjadi belief dikaji kembali oleh pengkaji hukum lainnya atau generasi berikutnya tanpa henti. Oleh karena itu, saya meyakini tidak ada yang namanya pintu ijtihad tertutup. Bahkan Prof. Amin Abdullah berpendapat ketika suatu teks yang bersifat interpretative (banyak pilihan makna dan penafsiran) ditutup (pintu ijtihad ditutup), maka sebenarnya pelakunya telah melakukan perbuatan sewenang-wenang (despotic). Begitu juga apabila pembaca (reader) mencoba menutup rapat-rapat teks atau memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan ini berisiko melanggar integritas pengarang (author) atau bahkan teks itu sendiri. 
Berdasarkan teori Charles S. Pierce dan ditambah pendapat Prof. Amin Abdullah serta motivasi dari Jasser sebelumnya, saya pun berkesimpulan bahwa kebenaran yang dicapai manusia tidaklah final. Semuanya terus berproses melalui doubt dan research yang didukung berbagai pendekatan untuk mendapatkan kebenaran yang baru dan kebenaran ini terus akan dikaji dalam proses tiada henti. Perputaran tersebut dapat digambarkan sebagaimana di samping.

2)   Membangun Habits of Mind melalui Konvergensi Epistemologi Bayani, Burhani dan ‘Irfani        
Melalui mata kuliah Metodologi Studi Islam ini saya memperoleh pelajaran dan baru menyadari bahwa kebiasaan berpikir sebagian besar masyarakat muslim, cenderung tenacity (keras & non kompromi), bahkan karena dipengaruhi oleh pendapat atau pandangan orang yang memiliki otoritas membuat pendapat tersebut dianggap sakral (authority), terlebih lagi karena adanya dorongan model berpikir apriori (mathematical model), menyebabkan lahirnya habits of mind masyarakat muslim yang taklid, tekstualis, normatif, doktriner, biner, satu dimensi, tertutup dan tidak holistik. Kebiasaan berpikir seperti ini tampaknya telah mengakar di tengah-tengah kehidupan kita yang apabila dibiarkan dapat mengakibatkan kematian secara metamorphosis.
Melihat kecenderungan habits of mind masyarakat muslim di atas, saya pun menyadari perlu adanya perbaikan terhadap hal tersebut dan berupaya mengajak kaum intelektual muslim untuk memperbaharui kebiasaan berpikir selama ini. Di dunia Islam, kita telah memiliki epistemologi sendiri yakni bayani, burhani dan ‘irfani yang diperkenalkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri.
Sebagaimana diketahui hakikat dari teori sistem dan termasuk pula seperti yang ditawarkan oleh Jasser Auda bahwa sebuah sistem memiliki keterkaitan dengan sistem yang lain untuk berintegrasi dan bekerjasama dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka menurut hemat saya ketiga epistemologi (bayani, burhani dan ‘irfani) di atas adalah sebagai sistem yang saling berkaitan pula dalam menjalankan perannya, bukan berdiri sendiri. Oleh karena itulah ketiganya perlu dikonvergensi ke dalam satu titik pertemuan sehingga dapat membentuk habits of mind yang rasional-empiris-kontekstual-etis.
Hal ini jika dikaitkan dengan ushul fiqh, secara keilmuan ia berada di dalam ruang lingkup epistemologi bayani (rasional-tekstual), tetapi dalam menyelesaikan persoalan hukum Islam peran dari epistemologi burhani (rasional-empiris-kontekstual) khususnya berkaitan dengan situasi dan kondisi, tempat, budaya serta sosial masyarakat yang menjalankan hukum itu tidak dapat diabaikan. Hal ini tidak lain agar produk hukum (fiqh) yang dihasilkan dari ushul fiqh memiliki nilai mashlahah atau manfaat yang dapat dilaksanakan sesuai keadaan masyarakat yang menjalankan hukum tersebut. Di sinilah letak peran dari epistemologi ‘irfani yang tidak hanya menghasilkan boleh atau tidaknya suatu persoalan hukum, melainkan memperhatikan pula etis atau tidaknya dan layak atau tidaknya serta baik atau tidaknya persoalan hukum tersebut dilaksanakan.
Misalnya tentang iddah. Apabila dilihat dari epistemologi bayani suami tidak memiliki iddah dan dibolehkan untuk langsung menikah kembali. Namun apabila dilihat dari epistemologi burhani, isteri adalah makhluk Allah sama-sama diciptakan seperti suami yang sama-sama dimuliakan oleh Allah juga. Oleh karena itu melalui epistemologi ‘irfani persoalan iddah ini dipertimbangkan kembali mengenai etis atau tidaknya dan layak atau tidaknya serta baik atau tidaknya jika suami langsung menikah. Tentunya dengan mempertimbangkan hal tersebut, demi keadilan dan menjaga perasaan isteri dan keluarganya, selayaknya suami pun menahan diri untuk tidak langsung menikah. 
Habits of mind seperti inilah yang perlu disadari dan ditanamkan ke dalam jiwa dan pikiran masyarakat muslim, terutama kepada penstudi hukum Islam, kaum intelektual muslim, ustadz, pendakwah, guru-guru agama, bahkan ulama. Penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
3)    Pendekatan Integratif dan Interkonektif Sebuah Keniscayaan dalam Melakukan Research/Investigation
Sub 3) ini merupakan inti dari dua pembahasan di atas. Hal ini disebabkan sebagaimana dikatakan pula sebelumnya, agar hasil research/investigation (fiqh) menjadi holistik, utuh, terbuka, multi dimensi dan mashlahah, bahkan aplikatif maka dalam melakukan research/investigation tersebut merupakan suatu keniscayaan menggunakan pendekatan yang terangkum dalam pendekatan integratif interkonektif yang diperkenalkan Prof. Amin Abdullah.
Penggunaan pendekatan ini tidak hanya diserukan oleh para pemikir muslim, tetapi para intelektual non muslim pun telah menyerukan agar mengkaji Islam harus menggunakan berbagai pendekatan dan tidak hanya menggunakan pendekatan teologis-normatif. Istilah lainnya yang saya ingat dari penjelasan Prof. Amin Abdullah sewaktu di kelas yang kemudian saya catat di buku catatan perkuliahan saya bahwa “studi Islam harus kaya perspektif”. 
Kita bisa memperhatikan kembali beberapa seruan para pemikir seperti Charles J. Adams yang mengemukakan dua pendekatan yaitu normatif dan deskriptif. Namun menurutnya pendekatan normatif sudah tidak relevan lagi digunakan, sementara pendekatan deskriptif (filosofis, sejarah, ilmu-ilmu sosial dan fenomenologis) lebih banyak dapat menyelesaikan persoalan dalam studi Islam. Begitu juga Richard C. Martin yang mengemukakan tujuh pendekatan seperti pendekatan tekstual, sejarah, sosiologis, antropologis, filsafat ilmu, hermeneutik dan kritik.
Para pemikir muslim pun mengemukakan hal yang sama, seperti Ibrahim Abu Rabi’ menawarkan pendekatan sosiologis, sejarah dan normatif. Abdullah Saed juga menekankan perlunya menggunakan pendekatan  kontekstual, sosio-historis dan critical historical serta pendekatan dialogis konstruktif antara warisan Islam klasik dengan ilmu-ilmu sosial kontemporer & universal humanities, bahkan termasuk pula pendekatan dialogis Mashood A. Baderin dalam mendialogkan antara Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dengan hukum Islam melalui Margin Apresiasi. Pemikir Islam selanjutnya seperti Khalid Abou El Fadl yang merasa gelisah terhadap fatwa-fatwa ulama tentang kaum perempuan yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi dipandang merendahkan kaum perempuan membuatnya menawarkan pendekatan hermeneutik (Prof. Amin menyebut pendekatan tersebut fiqh al-ta’wil wa al-tafsir) untuk mengkaji teks-teks fatwa dan para pemberi fatwa sebagai author serta kaitannya dengan situasi, kondisi dan masyarakat muslim sebagai reader. Pendekatan lainnya seperti yang ditambahkan Jasser Auda untuk menambahkan pendekatan-pendekatan lainnya yaitu pendekatan sistem dengan 6 fitur yang saling berkaitan.
Dengan berbagai pendekatan di atas, tentunya hasil dari kajian-kajian keislaman khususnya dalam persoalan hukum Islam, lebih dinamis dan membumi sesuai dengan keadaan masyarakat muslim yang menjalankannya. Hal seperti ini penting dapat dipahami para pengkaji hukum Islam dan masyarakat muslim umumnya agar hasil dari kajian hukum Islam merupakan solusi yang dibutuhkan masyarakat, bukan mendatangkan masalah terlebih lagi meninggalkan masalah. Untuk lebih jelasnya bahasan tentang pendekatan integratif dan interkonektif sebuah keniscayaan dalam melakukan research/investigation dapat dilihat dalam mind map berikut ini :
Itulah pelajaran-pelajaran yang saya peroleh selama belajar mata kuliah Metodologi Studi Islam pada semester I Program S3 di UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2014/2015. Pelajaran-pelajaran ini tentunya sangat mempengaruhi cara pandang dunia saya selanjutnya termasuk pula berpengaruh pada cara saya mengajar atau memberikan materi lainnya.
C.   Perubahan Paradigma Berpikir setelah Mempelajari Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Perubahan paradigma berpikir setelah mempelajari mata kuliah Metodologi Studi Islam ini, sebenarnya telah dikemukakan dalam beberapa uraian sebelumnya, hanya saja mungkin masih belum ditegaskan dalam bahasan tersendiri. Oleh karena itu, dalam sub ini saya mencoba mengemukakan dan sekaligus menegaskan perubahan paradigma berpikir saya sebagai berikut :
1.    Sejak S1 saya masih mempertanyakan mengapa Islam perlu dikaji melalui metodologi, kemudian saya meneliti pemikiran Prof. Munawir Sjadzali dan dari itu mulai menyadari bahwa Islam khususnya hukum Islam tidak bisa diterapkan begitu saja tanpa memperhatikan situasi, kondisi, sosial, budaya kekinian dan situasi, kondisi, sosial, budaya ketika hukum tersebut diperkenalkan. Ketika S2, walaupun saya belajar Metodologi Studi Islam secara otodidak pertanyaan-pertanyaan saya sewaktu S1 mulai berkurang, terlebih lagi ketika membaca tulisan Prof. Amin Abdullah yakni “Islam tidak bisa didekati (dikaji) hanya melalui satu pendekatan saja, tetapi mesti berintegrasi atau setidaknya berkoneksi dengan pendekatan-pendekatan yang lain.” Namun karena saya mempelajari mata kuliah ini secara otodidak, keilmuan saya pun belum terarah. Setelah kuliah di S3 inilah, saya merasakan perubahan yang luar bisa pada diri sampai mencapai titik nol, bulat dan utuh, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan seperti sebelumnya. Saya pun saya pun mengikuti (ittiba), bahkan menerima serta meyakini sepenuhnya seperti yang dikatakan Prof. Amin bahwa “saat ini kajian keislaman tidak lagi terbatas hanya pada wilayah fikih, kalam, tasawuf, dan filsafat, tetapi juga mulai berkoneksi dengan berbagai perspektif dan metodologi di bidang-bidang keilmuan lain seperti ilmu-ilmu sosial (social sciences), humaniora, ekonomi, psikologi, kedokteran, dan yang lainnya”.
2.    Saya juga meyakini bahwa hanya dengan menggunakan pendekatan integratif interkonektif (yang diperkenalkan Prof. Amin Abdullah), ushul fiqh dapat menelorkan hukum Islam (fiqh) yang aplikatif dan menjadi solusi yang dibutuhkan masyarakat sesuai dengan zamannya, tidak mendatangkan masalah, terlebih lagi meninggalkan masalah.
3.    Hukum Islam (fiqh) harus dikaji terus menerus dan tidak ada fatwa-fatwa hukum Islam atau bahkan keilmuan lainnya yang bersifat final. Oleh karena itu, setelah mempelajari Metodologi Studi Islam di Program Doktor, saya mulai berani mempertanyakan kembali fatwa-fatwa yang dianggap mapan, bahkan ayat-ayat yang katanya qath’i tentunya juga harus menggunakan pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan. Semuanya itu tidak lain - sebagaimana banyak sekali saya kemukakan sebelumnya- untuk tercapainya meaning (Pierce) atau purposefulness (Jasser Auda). 
D.   Refleksi dan Aplikasi Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Setelah belajar mata kuliah Metodologi Studi Islam ada beberapa hal yang merefleksi ke dalam diri saya dan akan saya aplikasikan dalam kehidupan saya, khususnya ketika saya mengajar. Beberapa hal tersebut adalah :
1.    Menerapkan delapan (8) point penting yang disebutkan sebelumnya baik dalam menulis atau pun membaca suatu karya. Selain itu saya juga menyampaikan dan mengajak mahasiswa S1, bahkan S2 untuk melakukan hal tersebut;
2.    Mengembangkan Silabus atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP), terutama mata kuliah ushul  fiqh I atau II, dengan cara memadatkan materi lainnya dan menambahkan materi-materi baru yang dikemukakan para pemikir kontemporer baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri khususnya terkait dengan pendekatan integratif interkonektif. Saya yakin hasil dari pembelajaran seperti ini tidak hanya bermanfaat untuk menganalisis dan menyelesaikan suatu persoalan hukum, tetapi bermanfaat pula secara praktis untuk penulisan skripsi, tesis, bahkan disertasi;
3.    Mata kuliah ushul fiqh adalah mengajarkan bagaimana cara menggali (istinbat) dan menemukan hukum Islam (fiqh). Para penstudi mata kuliah inilah baik dosen atau pun mahasiswa yang nantinya dapat diharapkan menjadi mujtahid-mujtahid di masa mendatang. Oleh karena itu tentu sebelumnya, model berpikir yang baik harus dipersiapkan pula. Dalam hal ini saya berupaya untuk membiasakan dan mengajak para mahasiswa baik S1 atau pun S2 bahkan S3 agar dapat berpikir holistik (menyeluruh), utuh, terbuka, interelasi sistemis, multidimensi, multi-valued (bukan biner; dikotomis-atomistik, kontekstual, konstruktif dan teleology. Tentunya semua ini didukung dari pendekatan integratif interkonektif yang telah disampaikan;
4.    Untuk menggugah pikiran dan teknik problem solving serta sekaligus sebagai i’tibar, pada mata kuliah ushul fiqh saya berupaya memanfaatkan film-film yang relevan yang dapat ditampilkan melalui LCD di setiap kelas. Misalnya film serial Nabi Yusuf (Yuzarzef) menjawab pertanyaan tentang status hukum perempuan bersuami yang berselingkuh. Dalam menjawab pertanyaan ini, Nabi Yusuf ternyata berpikir multidimensi, holistik, kontekstual dan integratif. Saya yakin masih banyak film yang lain yang dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan cara penyelesaian suatu persoalan hukum Islam. Termasuk pula film kartun Detektif Conan yang memiliki kemampuan analisis yang sangat tinggi, walaupun masih SMU tetapi melebihi kemampuan orang dewasa dapat pula dimanfaatkan untuk menampilkan teknik problem solving dalam hukum Islam. Bagi dosen Psikologi atau Tasawuf dapat memanfaatkan film kartun Sponge Bob yang selalu menampilkan wajah yang ceria, tidak bersedih, selalu berbaik sangka walaupun terkesan selalu dimanfaatkan orang.
5.    Setelah menyampaikan materi tentang pendekatan integratif interkonektif dan kemudian membiasakan berpikir holistik (menyeluruh), utuh, terbuka, interelasi sistemis, multidimensi, multi-valued (bukan biner; dikotomis-atomistik), kontekstual, konstruktif dan teleology serta ditambah dengan tayangan film sebagai contoh problem solving hukum Islam (fiqh), maka langkah selanjutnya mengajak mahasiswa baik S1 atau pun S2 untuk bersama-sama menerapkan metode istinbat ushul fiqh yang berintegrasi dan berinterkoneksi dengan berbagai pendekatan yang relevan untuk meneliti, menganalisis bahkan menjawab atau menyelesaikan suatu kasus persoalan hukum Islam (fiqh). Beberapa di antaranya adalah terkait dengan persoalan-persoalan hukum keluarga Islam kontemporer, seperti yang telah saya terapkan ketika saya menyusun makalah teori sistem Jasser Auda sebagaimana saya sebutkan pula sebelumnya yakni pencatatan akad nikah bisa menjadi syarat sah atau rukun akad nikah, poligami membawa kemudaratan yang besar dan besar kemungkinan suami juga beriddah.
       Masalah hukum Islam normatif pun tidak ada larangan untuk dikaji, seperti shalat. Namun maksud saya yang dikaji adalah sufistik shalatnya (bukan terkait dengan syarat dan rukunnya) yakni dengan cara beranjak melalui epistemologi ‘irfani sehingga nilai-nilai shalat dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.    
       Hal lainnya adalah terkait dengan fiqh lingkungan, seperti kajian hukum Islam integratif interkonektif terhadap limbah, tata letak kota dan sebagainya. Kajian berikutnya dapat pula berkaitan dengan fiqh harmoni budaya. Fiqh  harmoni budaya adalah berkaitan dengan kajian hukum Islam integratif interkonektif terhadap budaya-budaya di daerah. Misalnya keikutsertaan masyarakat muslim di kota Palangka Raya Kalimantan Tengah dalam upacara tiwah. Tiwah adalah ritual masyarakat Dayak yang beragama Hindu Kaharingan. Ritual ini memiliki tahapan-tahapan sampai pada puncaknya mengangkat tulang belulang orang yang sudah meninggal dunia dari kuburan untuk kemudian diletakkan ke dalam sebuah wadah yang disebut sandung. Tujuan ritual ini diselenggarakan adalah untuk mengantarkan roh atau meluruskan perjalanan roh orang yang meninggal dunia menuju surga (lewu tatau) sehingga dapat bersatu dengan Ranying Hatalla Langit (Tuhan). Keikutsertaan masyarakat muslim ini karena orang tua dan keluarga besar mereka yang telah meninggal dunia masih beragama Hindu Kaharingan, sementara sebagai anak (walaupun telah muslim) mereka menganggap berkewajiban untuk men-tiwah-kan orang tua meraka. Menjawab persoalan itu, dipastikan tidak bisa hanya melalui pendekatan ushul fiqh saja, tetapi harus melibatkan pendekatan lain salah satunya pendekatan antropologi budaya.              
Dengan melakukan serangkaian kegiatan yang dikemukakan di atas, maka itulah yang saya maksudkan “belajar menjadi mujtahid”. Maksudnya, saya dan mahasiswa-mahasiswa melatih imajinasi intelektual dan disertai dengan ilmu yang ada walaupun sangat terbatas tetapi dilakukan bersama, maka ijtihad tersebut pun dapat dilakukan. Oleh karena itu saya mengatakan hal ini dengan sebutan “Sukses Bersama dengan Belajar menjadi Mujtahid”. Sukses Bersama maksudnya dilakukan bersama-sama sehingga menjadi terampil bersama-sama. Adapun kata belajar itu adalah menunjukkan sebagai new comer tentu menjadi keharusan untuk belajar terlebih dahulu, sehingga semakin lama semakin terbiasa yang akhirnya terampil menggunakan pendekatan-pendekatan yang telah terbiasa digunakan untuk mengkaji dan menyelesaikan persoalan hukum Islam.            
Beberapa hal di atas menurut hemat saya sangat penting diaplikasikan oleh para dosen yang tidak hanya untuk mata kuliah ushul fiqh tetapi dapat digunakan dan disesuaikan dengan mata kuliah yang lain. Kesadaran semacam ini mesti ditumbuhkan dengan baik agar ilmu pengetahuan semakin berkembang. Dengan mengaplikasikan beberapa hal di atas, para mahasiswa hukum Islam pun memiliki wawasan yang cukup luas dan terkait dengan kepentingan praktisnya yaitu dalam pembuatan skripsi sangat mungkin tidak akan mengalami kesulitan, karena mahasiswa kaya akan teori-teori pendekatan. Tentunya semua itu tergantung dengan dosen dan mahasiswanya itu sendiri. Hubungannya dengan dosen apakah ia hanya sekedar mengajar atau diiringi pula dengan keuletan dan pengabdian dan hubungannya dengan mahasiswa, apakah ia membuka diri untuk berubah menjadi lebih baik atau hanya sekedar memenuhi kewajiban terhadap tugas-tugas yang diberikan. 


*****berkat rahmat Allah swt dan banyaknya yang mendoakan saya, alhamdulillah nilai saya 95 ( A+)*****
***terima kasih kepada Prof. Amin Abdullah, ilmu yang diajarkan panjenengan sangat bermanfaat dan memberikan pencerahan kepada saya dan saya yakin orang lain pun merasakan hal yang sama***
***semoga ilmu yang diberikan menjadi amal ibadah yang terus menerus mengalir*** 
***semoga Prof. Amin Abdullah selalu diberikan kesehatan dan panjang umur agar dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat lainnya. Amin***



    
Terima kasih telah membaca artikel yang berjudul Catatan Akhir Kuliah dengan Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA Sahabat bisa menemukan artikel Catatan Akhir Kuliah dengan Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA dengan URL http://ushulfikih.blogspot.com/2015/04/catatan-akhir-kuliah-dengan-prof-dr-h-m-amin-abdullah-ma.html, Silahkan kutip artikel Catatan Akhir Kuliah dengan Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA jika dipandang menarik dan bermanfaat, namun, tolong mencantumkan link Catatan Akhir Kuliah dengan Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, MA sebagai Sumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua. Kami berharap anda dapat memberikan komentar, tetapi komentar yang relevan dengan artikel dan diharapkan menggunakan bahasa yang etis. terima kasih

Posting Lebih Baru Posting Lama